Oleh Allan Fatchan Gani Wardhana, SH., MH
Kalau pada 9 Desember 2015 pilkada serentak berlangsung di 269 daerah, maka pilkada serentak tahun ini akan berlangsung di 101 daerah yang terdiri dari 7 daerah provinsi, 18 kota, dan 76 kabupaten. Berdasarkan data dari Komisi Pemilihan Umum (KPU), tercatat ada 153 pasangan calon dari 101 daerah yang akan menggelar Pilkada 2017. Meski jumlahnya lebih sedikit daripada pilkada 2015, tetap saja pilkada 2017 akan menjadi kelanjutan sejarah yang penting dan bermakna bagi demokrasi di Indonesia.
Basis argumentasi mengapa menjadi penting dan bermakna, karena dalam demokrasi yang sehat selalu mensyaratkan adanya pergantian kepemimpinan secara berkala baik level nasional maupun lingkup lokal seperti pilkada. Melalui pilkada inilah pergantian kepemimpinan lokal akan terwujud. Selain itu, pilkada merupakan proses pembelajaran masyarakat. Melalui pilkada inilah rakyat diajarkan untuk mandiri dan bertanggungjawab memilih pemimpin untuk menjalankan pemerintahan nantinya.
Di Pilkada bulan Februari besok, publik mempunyai ekspektasi tinggi yaitu bagaimana kegaduhan dan kekurangan dalam penyelenggaraan pilkada sebelumnya dapat diminimalisir sehingga kekurangan dalam penyelenggaraan pilkada diharapkan tidak terjadi dalam pilkada serentak tahun ini. Kita bisa melihat fakta, bahwa pilkada sebelumnya masih menyisakan berbagai macam persoalan.
Kilas Balik
Dari berbagai persoalan itu, setidaknya ada tiga hal yang pokok. Pertama, praktik money politics yang masih menjadi musuh utama. Pilkada 2015 yang lalu masih diwarnai dengan money politics meskipun jumlahnya tidak masif.
Kedua, sampai saat ini pilkada justru banyak menghasilkan kepala daerah yang terbelit kasus hukum. Data dari Departemen Dalam Negeri mencatat, sejak diberlakukannya pilkada langsung hingga awal 2013, kepala daerah yang terbelit kasus hukum mencapai 291 orang. Dari jumlah itu, 70 persen di antaranya akibat terlibat praktik tindak pidana korupsi. Data ini belum termasuk kepala daerah yang terjerat kasus hukum sepanjang tahun 2014-2016. Dalam pilkada 2015 lalu, bahkan kepala daerah yang terjerat kasus hukum tetap dilantik meski sedang berurusan dengan hukum, seperti Wali Kota terpilih Gunung Sitoli, Sumatra Utara, Lakhomizaro Zebua dan Bupati terpilih Sabu Raijua, NTT.
Ketiga, berbagai kasus hukum yang menjerat kepala daerah sedikit-banyak berpengaruh pada rendahnya partisipasi masyarakat dalam Pilkada. KPU & Pemerintah menetapkan target 77.5% partisipasi memilih dalam Pilkada 2015. Akan tetapi hasilnya masih dibawah target. Bahkan dibeberapa daerah waktu itu angka partisipasinya dibawah 50% seperti di Manado dan Maluku.
Ketiga persoalan di atas tentunya berpotensi mengancam serta merusak kualitas demokrasi di Indonesia. Hal ini harus segera diantisipasi agar tidak terulang di Pilkada 2017.
Menjunjung Nilai
Menjemput Pilkada 2017, penting sekali menekankan komitmen untuk menjunjung tinggi nilai-nilai demokrasi sejak awal. Adnan Buyung Nasution di dalam bukunya “Pikiran dan Gagasan Demokrasi Konstitusional” mengatakan “Demokrasi bukan hanya cara, alat, atau proses, tetapi adalah nilai-nilai atau norma-norma yang harus menjiwai dan mencerminkan keseluruhan proses kehidupan kita bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Demokrasi bukan hanya kriteria di dalam merumuskan cara atau proses untuk mencapai tujuan, melainkan tujuan itu sendiri haruslah mengandung nilai-nilai atau norma demokrasi.
Dikaitkan dengan Pilkada, apa yang disampaikan Buyung Nasution dapat dimaknai bahwa pilkada sebagai hajatan demokrasi , dalam prosesnya harus diselenggarakan dengan menjunjung tinggi nilai-nilai demokrasi. Jika pilkada di Indonesia masih diwarnai berbagai persoalan seperti money politics dan korupsi, maka pilkada di Indonesia dapat dikatakan sebagai pilkada yang miskin nilai bahkan bisa disebut pilkada tanpa nilai. Pilkada yang dijalankan tanpa nilai akan melahirkan demokrasi artifisial yang jauh dari nilai-nilai falsafah yang dianut oleh bangsa ini.
Pilkada serentak tahun depan harus menjadi anti-tesa pilkada sebelumnya. Masyarakat sangat berharap bahwa Pilkada 2017 dapat terselenggara dengan bersih, akuntabel, dan demokratis. Untuk mewujudkannya, tentu membutuhkan komitmen dan ikhtiar kolektif yang melibatkan penyelenggara pemilu, peserta pilkada, masyarakat, penegak hukum, dan seluruh pihak terkait secara berkesinambungan. Wallahu’alam. (*)
-Penulis adalah Peneliti Pusat Studi Hukum Konstitusi (PSHK) Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia.