Oleh: Despan Heryansyah
Hanya menghitung hari, perhelatan pesta demokrasi ditingkat daerah atau pilkada akan berlansung. Meski dilarang pesimis, namun jika melihat suasana menjelang pilkada seperti sekarang ini, sepertinya tidak akan jauh berbeda dengan pilkada-pilkada sebelumnya. Meski Bawaslu sudah didesain sedemikian rupa dengan beberapa kewenangan ekstra, hingga kewenangan memberikan sanksi administrasi berupa pembatalan pencalonan, namun sampai hari ini belum banyak terdengar apa yang dilakukan oleh Bawaslu.
Oleh karena itu, tidak salah jika disimpulkah pilkada tahun ini tidak jauh berbeda dengan pilkada sebelumnya, justru KPU yang sebelumnya lembaga independen menurut UUD 1945, kini ditumpangi oleh “kepentingan” DPR. Penulis menyebutnya kepentingan karena DPR adalah lembaga politik, yang tentu segala keputusannya adalah hasil kompromi-kompromi politik. Ironi memang, DPD yang merupakan wakil lansung tiap-tiap daerah justru tidak dilibatkan sama sekali.
Dua Masalah
Jika mengacu pada pilkada sebelumnya, maka ada dua masalah besar yang pasti selalu ditemui dalam setiap perhelatan akbar pilkada. Pertama money politics, dalam hal ini kita tidak dapat menjadikan ibu kota Jakarta sebagai barometer tingkat money politics di Indonesia. Jakarta dihuni oleh golongan masyarakat yang telah modern tidak saja dari pola hidup tapi juga pola pikir, tentu pendidikan politik akan diterima lebih cepat. Kondisi itu akan jauh berbeda halnya dengan daerah-daerah terpencil yang tinggal di daerah-daerah terpencil. Money politics dengan berbagai variannya masih masif ditemui, bahkan dilakukan dengan terang-terangan. Lebih jauh, pemanfaatan aparatur pemerintahan (PNS, Kepala Desa, Kepala Sekolah, dan lain-lain) juga masih sangat banyak. Kondisi demikian yang sepertinya yang lepas dari pandangan Bawaslu, KPU, dan media sehingga terus terjadi sepanjang tahun. Wajar saja jika demokrasi di negeri ini kian dibajak oleh penumpang ilegal yang menghambakan diri pada jabatan dan kelas sosial.
Money pilitics muncul disebabkan tidak bekerja semua steakholder dalam pilkada, masyarakat yang apatis, calon yang tandus nilai, media yang tidak independen, KPU yang memihak, dan Bawaslu yang takut bertindak, semua memerankan perannya dengan sempurna dan selalu berulang-ulang setiap tahun. Kondisi itu semakin diperparah pula oleh “sistem” yang carut-marut peninggalan orde masa lalu yang sedemikian korup.
Kedua upaya hukum, upaya hukum yang dimaksud baik berupa permohonan sengketa Pilkada kepada Mahkamah Konstitusi (MK) ataupun perkara pidana ke Mahkamah Agung (MA). Upaya hukum tentu menjadi hak setiap warga negara tanpa terkecuali, karena eksistensi negara hukum justru untuk melindungi hak setiap warga negara. Tetapi upaya hukum menjadi bermasalah saat dijadikan sebagai jalan lain memperoleh kemenangan padahal sudah jelas dan nyata kalah. Masalah akan semakin membesar saat upaya hukum dilakukan dengan menghalalkan berbagai macam cara, termasuk penyuapan. Bahkan lembaga sekelas Mahkamah Konstitusi yang dipercaya integritas hakimnya sebagai “negarawan”, tidak luput dari praktek penyuapan. Kasus Akil Muchtar menghenyak kesadaran publik bahwa potensi membajak demokrasi dapat dilakukan oleh siapa saja. Kalau sudah begini orang akan berpikir kekuasaan dan jabatan adalah tentang uang, bukan pengabdian.
Keberanian
Dua masalah di atas, money politics dan upaya hukum melalui MK dan MA, harus benar-benar menjadi perhatian, karena pengalaman masa lalu menunjukkan keduanya selalu terulang. Pelaksanaan pilkada hanya beberapa hari lagi, tetapi kesempatan untuk melakukan perbaikan tidak pernah terlambat. KPU dan Bawaslu jangan hanya terfokus pada kota-kota besar, namun mengoptimalkan sedemikian rupa KPU dan Bawaslu yang ada di daerah-daerah terpencil, begitupun hakim-hakim MK dan MA untuk berbenah sedemikian rupa untuk menghindari potensi terkecil pembajakan demokrasi. Keempatnya bukan lembaga yang baru dibentuk kemarin sore, jadi sejatinya sudah sangat mengetahui apa yang harus dilakukan, masalahnya adalah “Keberanian”.
-Penulis adalah Mahasiswa Program Doktor Fakultas Hukum UII YOGYAKARTA dan Peneliti pada Pusat Studi Hukum Konstitusi (PSHK) Fakultas Hukum UII.