Oleh: Despan Heryansyah
Mahasiswa Program Doktor Fakultas Hukum UII YOGYAKARTA dan Peneliti pada Pusat Studi Hukum Konstitusi (PSHK) Fakultas Hukum UII)
Sempat hening beberapa saat, kini wacana Amandemen UUD kembali mengemuka. Beberapa hari lalu terjadi kesepakatan antara MPR dan Presiden untuk menghidupkan kembali Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN). Jalan satu-satunya untuk mengembalikan eksistensi GBHN ini adalah dengan mengamandemen UUD NRI Tahun 1945, namun demikian amandemen UUD 1945 tidak dapat dibatasi hanya pada pemasukan GBHN saja, melainkan juga harus menyentuh pada aspek-aspek lain yang dianggap penting dan mendasar. Salah satunya yang sejak dulu diwacanakan adalah penguatan kelembagaan dan kewenangan Dewan Perwakilan Daerah (DPD).
Wacana penguatan kelembagaan DPD ini sudah ada bahkan sejak DPD yang pertama hasil pemilu 2004 terbentuk. DPD dimaksudkan sebagai lembaga negara yang sejajar dengan lembaga-lembaga negara yang lain nanum dengan kewenangan yang begitu soft (lemah) dibanding DPR. Fungsi legislating, budgeting, dan kontroling tidak dapat dilakukan dengan maksimal karena lemahnya kelembagaan dan kewenangan ini. Hasilnya DPD hanya nampak sebagai lembaga negara pelengkap yang “adanya atau tidak adanya” tidak memiliki pengaruh apapun. Sejak semula memang DPD lahir dengan prematur, tanpa konsep dan pengkajian yang mendalam.
Kalau kita melihat di beberapa negara yang menggunakan konsep bikameral, semisal Inggris, Francis, dan Amerika. Masing-masing lembaga yang ada memiliki peran vital dalam menjalankan fungsi lesgislatif. Kongres di Amerika misalnya yang terdiri dari Senat dan DPR, sama-sama memiliki fungsi yang kuat bahkan terpisah antara satu dengan yang lainnya. Kewenangan tertentu hanya diberikan kepada senat, yang DPR tidak boleh mencampurinya, bahkan senat dianggap sebagai lembaga yang lebih konsultatif dan prestisius.
Urgensi Penguatan DPD
Dalam konteks Indonesia, penguatan DPD menjadi penting setidaknya karena dua alasan. Pertama, DPD adalah lembaga yang mewakili daerah secara lansung tanpa ada keterkaitan dengan partai politik. Kondisi sebagian besar daerah di Indonesia saat ini masih sangat memprihatinkan dan jauh dari standar maju, oleh karena itu kehadiran DPD menjadi tepat untuk menyuarakan aspirasi dari masing-masing daerah. Selama ini, daerah hanya menjadi penonton atas setiap pembangunan di pulau Jawa, lalu bertepuk tangan jika pembangunan itu menuwai keberhasilan.
Kedua, untuk melahirkan check and balances pada tingkat parlemen. Selama ini dengan kewenangan begitu besar DPR kerap kemicu kegaduhan politik di tingkat nasional, korupsi, pelanggaran etik, dan berbagai bentuk pelanggaran lain sudah menjadi berita yang kita dengar sehari-hari di media massa. Hal ini dapat terjadi karena tidak adanya lembaga yang mengimbangi kekuatan DPR sebagai lembaga legislatif. Di sini peran DPD diharapkan dapat menimbulkan check and balances di parlemen, sehingga setiap kebijakan yang diambil tidak hanya menggambarkan kekuatan politik namun juga mengakomodir aspirasi daerah-daerah.
Dilema Penguatan DPD
Satu-satunya hambatan mengapa kewenangan DPD sampai hari ini belum diperkuat adalah karena tidak adanya political will dari pembentuk UU (DPR dan Pemerintah). Hal ini dapat dimaklumi mengingat penguatan kelembagaan DPD sama artinya dengan “mengurangi” kewenangan DPR, sehingga hanya jiwa kenegarawanan yang kita gantungkan kepada aparat pembentuk UU, agar masalah lemahnya kelembagaan DPD. Di samping itu, wacana penguatan DPD harus diakui tidak mendapat respons positif dari masyarakat luas. Hal ini disebabkan oleh kinerja DPD sendiri yang hingga saat ini belum menunjukkan keberpihakan yang berarti kepada rakyat. Seandainya DPD sendiri dapat membuktikan bahwa lembaganya berkomitmen besar terhadap kemakmuran rakyat, tentu dukungan dari rakyat akan mengalir dengan sendirinya. Kondisi itu diperparah pula dengan Operasi Tangkap Tangan (OTT) ketua DPD Irman Gusman, yang semakin menyangsikan dukungan semua pihak terhadap penguatan DPD secara kelembagaan. (*)