Oleh: Yuniar Riza Hakiki
Mahasiswa Strata-1 Ilmu Hukum Universitas Islam Indonesia, aktif di Forum Kajian dan Penulisan Hukum LEM FH UII
BERBAGAI persinggungan antar masyarakat satu dengan yang lain hendaknya menjadi bahan evaluasi bangsa Indonesia. Berbagai konflik yang membawa persoalan suku, agama, ras, adat (SARA) yang terjadi di negeri ini diasumsikan karena tingginya ego sektoral masing-masing komunitas masyarakat. Rendahnya kesadaran bangsa terhadap heterogenitas bangsa berdampak pada kekuatan kesatuan bangsa berubah menjadi kekuatan ego tiap-tiap komunitas masyarakat.
Beberapa hari yang lalu tepatnya tanggal 9 Januari 2017 Presiden RI Jokowi menghadiri acara peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW 1438 H di Pekalongan. Masih hangat diberitakan berbagai media, Presiden menekankan dalam Pidatonya bahwa Indonesia memiliki ratusan suku, ribuan lebih bahasa lokal. Hal ini menunjukkan bangsa Indonesia merupakan bangsa yang penuh dengan kemajemukan. Presiden memaknai kemajemukan sebagai anugrah yang wajib disyukuri dan harus dijaga, sehingga hal ini harus dibangun dengan menggali potensinya.
Persoalan yang terjadi hingga saat ini yaitu belum harmonisnya perbedaan dalam keterpaduan persatuan dan kesatuan bangsa. Mewujudkan harmonisnya perbedaan dalam negara demokrasi memang merupakan tantangan berat bagi bangsa Indonesia. Hal ini ditengarai atas adanya jaminan kebebasan bagi individu maupun kelompok masyarakat dalam negara demokrasi.
Di satu sisi kebebasan merupakan hak yang harus dijamin dalam negara demokrasi, sedangkan di sisi yang lain kebebasan berpotensi mengancam persatuan dan kesatuan bangsa. Oleh karena itu diperlukan sikap bangsa Indonesia yang mengarah pada kesadaran bahwa perbedaan itu merupakan suatu hal yang dapat diharmonisasikan dan harus dirawat guna mewujudkan kekuatan dan kejayaan bangsa.
Mukhtie Fadjar (2003) menjelaskan kemajemukan bangsa sejatinya merupakan realitas dalam komunitas Indonesia yang tidak mungkin dipungkiri dan dihindari. Kondisi ini merupakan hikmah dan berkah apabila kita mampu mengaransemennya dalam sebuah keterpaduan yang menghasilkan keindahan dan kekuatan, tetapi juga bisa merupakan musibah disintegrasi manakala kemajemukan tersebut tidak terakomodasi.
Pernyataan tersebut hendaknya menginspirasi bangsa Indonesia dalam membangun dan mewujudkan tujuan Negara Indonesia. Keragaman sistem sosial, politik, pandangan hidup, hingga budaya bangsa Indonesia akan menjadi bekal berupa kekuatan dan kekayaan ragam bangsa Indonesia. Kesadaran akan tantangan dalam merawat keragaman tersebut harus dimaknai sebagai sebuah perjuangan dalam melanggengkan keberlanjutan kemerdekaan bangsa Indonesia.
Realitas sosial bangsa Indonesia yang beragam ini oleh para pendiri Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) diwujudkan menjadi filsafat dasar ‘bhinneka’, sedangkan cita-cita persatuan bangsa-bangsa menjadi satu bangsa Indonesia diwujudkan menjadi filsafat dasar ‘tunggal ika’. Sehingga jika keduanya digabung menghasilkan suatu semboyan filosofis bangsa Indonesia yakni “Bhinneka Tunggal Ika”, yaitu satu kesatuan dalam keanekaragaman.
Kesadaran atas kemajemukan hendaknya dipahami secara positif oleh segenap bangsa Indonesia. Tidak dapat dipungkiri bahwa perbedaan itu merupakan kodrat manusia sebagai makhluk Tuhan. Dalam ajaran agama penulis, perbedaan merupakan suatu keniscayaan, pada suatu ayat dijelaskan bahwa manusia diciptakan dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan kemudian manusia dijadikan berbangsa-bangsa, bersuku-suku, dengan tujuan agar manusia saling mengenal (Q.S. Al-Hujurat (49) : 13).
Pada konteks penyelenggaraan negara, untuk mengharmoniskan perbedaan itu Notonagoro telah menjelaskan bahwa bangsa Indonesia memiliki satu asas kerohanian, satu pandangan hidup, dan satu ideologi yaitu Pancasila (Kaelan : 2014). Asas kerohanian yang terkandung dalam Pancasila ini dipandang menjadi landasan untuk membina dan mengarahkan keragaman bangsa Indonesia ke arah satu kerjasama dalam memeroleh kebahagiaan bersama. Selain berlandaskan pada hal tersebut, landasan ideal bagi bangsa Indonesia adalah norma sosial dan hukum yang berlaku. Norma sosial seperti norma kesusilaan, norma kesopanan, norma agama, dan norma hukum memiliki nilai-nilai (value) yang juga sebagai landasan untuk membina eksistensi bangsa Indonesia.
Konsep demokrasi yang dianut di Negara Indonesia bukan demokrasi yang membiarkan pada kebebasan yang sebebas-bebasnya, melainkan demokrasi yang berlandaskan pada Pancasila, Norma Sosial, dan Peraturan Perundang-undangan. Konkrit terlihat pada Pasal 28J ayat (2) UUD NRI 1945, bahwa “dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan dengan undang-undang dengan maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis”.
Kebebasan merupakan suatu pilar demokrasi yang dijamin bagi setiap orang guna mengembangkan dan meningkatkan kualitas diri untuk membangun bangsa dan negara. Sehingga dengan kebebasan ini setiap orang tidak akan terkekang aktivitas dan pemikirannya. Misalnya, setiap orang berhak dengan bebas untuk memajukan dirinya secara individual maupun bersama-sama untuk membangun masyarakat, bangsa, dan negara (Pasal 28C ayat 2 UUD NRI 1945). Kebebasan yang dijamin dalam konsep demokrasi Indonesia tidak diarahkan untuk melakukan kerusakan, termasuk merusak persatuan dan kesatuan bangsa.
Kebebasan harus disadari sebagai modal untuk berkreasi dalam membangun bangsa, dan bukan sebagai alat untuk mengingkari persatuan dan kesatuan bangsa. Kebebasan harus dimanfaatkan pada kegiatan-kegiatan yang produktif dan mengarah pada hasil yang konstruktif. Memanfaatkan hak dan kebebasan untuk saling menghujat, menebar kebencian melalui media, melakukan tindakan teror, dan sejenisnya merupakan kegiatan yang kontraproduktif dan akan mengarah pada hasil yang destruktif.
Sejenak mari kita melihat kekayaan bangsa Indonesia yang jarang dimiliki oleh negara-negara lain. Keragaman komunitas masyarakat adat dan daerah, keragaman agama yang dianut masyarakat Indonesia, keragaman sistem sosial kemasyarakatan, keragaman berkreasi dalam seni dan budaya, hingga keragaman berkreasi dalam memenuhi kebutuhan sehari-hari. Hal tersebut baru sekelumit gambaran umum realitas sosial bangsa Indonesia yang beragam ini. Akankah kita tega membiarkan bangsa ini binasa karena tindakan-tindakan destruktif bangsanya sendiri?
Merawat kebhinekaan dalam negara demokrasi dapat ditempuh dengan menyadari bahwa keragaman merupakan berkah sekaligus hikmah apabila dikelola dengan sebaik-baiknya. Selain itu jaminan kebebasan bagi individu dan komunitas masyarakat hendaknya dimanfaatkan untuk berkreasi dalam mengelola keragaman tersebut. Kreativitas yang produktif dapat menghasilkan bangunan negara demokrasi yang kokoh. Melalui tulisan ini penulis mengajak masyarakat Indonesia agar bersama-sama memiliki pola pikir produktif dan konstruktif untuk menyikapi realitas kebhinnekaan dalam sebuah negara yang menjamin kebebasan ini. (*)