Oleh: Despan Heryansyah
“Ada tiga golongan hakim, dua golongan diantaranya masuk neraka dan hanya satu golongan yang masuk surga”
Begitu kira-kira Nabi SAW 15 abad yang lalu memperingatkan akan rentannya jabatan sebagai hakim, meskipun perannya mulia namun tanggungjawabnya begitu besar. Hakimlah yang akan menentukan masa depan seseorang, apakah ia akan mendekam dipenjara selama bertahun-tahun atau bebas dari segala tuntutan.
Dua golongan hakim yang akan masuk neraka itu adalah hakim tahu namun memutus perkara bukan dengan pengatahuannya tapi berdasarkan nafsunya dan hakim yang tidak tahu lalu memutus dengan ketidaktahuannya. Sedangkan satu golongan yang akan masuk surga adalah hakim yang tahu (berilmu) kemudian memutus perkara dengan pengetahuannya. Oleh karena itu, hakim dituntut untuk tidak hanya berintegritas saja namun juga berkualitas ilmu agar apa yang diputusnya syarat dengan nilai-nilai keilmuan.
Perkembangan Ironi
Ada yang ironi dalam sejarah perkembangan kekuasaan kehakiman di Indonesia, dulu pada masa orde lama dan orde baru saat kekuasaan kehakim khususnya secara organisasi dan finansial masih berada di bawah eksekutif (pemerintah), banyak yang mengeluh (hakim dan akademisi) mengatakan eksekutif telah mengintervensi kekuasaan kehakiman dan menjadikan hakim tidak merdeka dalam memutus suatu perkara. Pemerintah mengendalikan peradilan melalui finansial dan keorganisasian kekuasaan kehakiman.
Pascareformasi, melalui UU No 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman campur tangan eksekutif ini dihilangkan dan semua disatu atapkan dibawah kekuasaan kehakiman yang berpuncak di Mahkamah Agung. Apakah masalahnya menjadi selesai? Nyatanya tidak, saat ini muncul masalah-masalah baru yang tidak kalah peliknya dengan masalah yang dulu timbul.
Kekeliruan Memaknai Independensi
Kekuasaan kehakiman yang merdeka lepas dari intervensi pihak lain adalah salah satu karakteristik negara hukum. Namun hal ini tidak berarti hakim dapat semau mereka dalam memutus suatu perkara, tetap dibutuhkan pengawasan terhadap para hakim. Namun bukan untuk mengintervensi hakim dalam megambil keputusan melainkan agar hakim tetap berjalan pada koridor negara hukum seperti yang dicita-citakan oleh UUD, dengan kata lain check and balances juga dibutuhkan bahkan dalam bidang kekuasaan kehakiman sekalipun.
Dampak negatif dari kemerdekaan kekuasaan kehakiman yang salah arah ini adalah munculnya mafia peradilan yang begitu terstruktur dan sistematis, sehingga sangat sulit untuk dibuktikan karena masing-masing hakim saling menutupi. Setiap kali ada yang mempermasalahkan putusan yang dikuluarkan oleh hakim mereka bersembunyi dibalik “merdeka dan independensi”. Maka salah jika kita berharap masalah korupsi yang hari ini tengah menggerogoti bangsa kepada kekuasaan kehakiman, karena kekuasaan kehakiman sendiri adalah “gembong” korupsi. Saat ini, jika seorang pengacara akan memenangkan perkara di pengadilan, tidak cukup hanya dengan menyusun naskah hukum yang baik, namun juga harus menyiapkan sejumlah dana sebagai “pelicin” kepada hakim yang akan memutus perkaranya.
Di sisi lain, etika para hakim juga tidak menunjukkan perbaikan. Data yang dirilis oleh Komisi Yudisial (KY) menunjukkan bahwa kenaikan gaji hakim beberapa tahun lalu ternyata berdampak pada banyaknya kasus selingkuh yang dilakukan oleh hakim-hakim. Baru-baru ini kasus yang sangat mengejutkan seorang hakim pengadilan tinggi agama tertangkap dengan orang lain yang bukan pasangannya di kamar sebuah hotel. Filosofi bahwa dua dari tiga golongan hakim akan masuk neraka nyatanya tidak cukup untuk menjadi landasan para hakim untuk mengambil tindakan.
Oleh karena itu, kemerdekaan hakim tidak dapat dibiarkan berjalan sendirian, karena hakim tidak berada pada ruang sunyi tanpa penghuni, hakim berada ditengah-tengah masyarakat dengan segudang permasalahannya. Kemerdekaan hakim harus mendapatkan pengawasan dan perimbangan (check and balances) dari lembaga lain, bukan untuk mengintervensi hakim dalam memutus perkara, namun justru untuk menjaga marwah hakim dalam menegakkan hukum dan keadilan. Dulu ada KY yang berwenang penuh dalam mengawasi prilaku dan menegakkan martabat hakim namun sebagian besar kewenangannya dibatalkan oleh MK. Sehingga menjadikan kemerdekaan hakim berpaling arah dari apa yang dicita-citakan saat melakukan reformasi dan amandemen konstitusi. Penataan kembali kekuasaan kehakiman urgen untuk dilakukan. (*)
-Penulis Mahasiswa Program Doktor Fakultas Hukum UII Yogyakarta dan Penelitipada Pusat Studi Hukum Konstitusi (PSHK) Fakultas Hukum UII