Oleh Yuniar Riza Hakiki
Revisi Undang-Undang Pemilu (UU Pemilu) yang sedang dibahas oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) masih menuai perdebatan yang cukup serius. Salah satu poin bahasan yang cukup memanas adalah mengenai persyaratan ambang batas bagi partai politik (parpol) untuk mengusung Capres/Cawapres (Presidential Threshold) pada Pemilu 2019 nanti.
Sebagaimana draf revisi UU Pemilu, Pasal 190 menentukan bahwa syarat untuk mengusulkan capres-cawapres adalah terpenuhinya persyaratan perolehan kursi oleh parpol paling sedikit 20 % dari jumlah kursi DPR atau memperoleh 25 % dari suara sah nasional pada pemilu anggota DPR periode sebelumya. Ketentuan ini berkonsekuensi pada terhambatnya parpol baru peserta pemilu 2019 untuk turut serta mengusulkan capres/cawapres.
Menerapkan ambang batas sebagaimana ketentuan tersebut sama halnya mempersempit kran demokrasi. Demokrasi yang utuh adalah demokrasi yang benar-benar dilaksanakan berdasar kehendak rakyat, bukan yang direkayasa melalui regulasi untuk mempersempit kesempatan partisipasi.
Inkonstitusional
Penerapan ambang batas sebagaimana ketentuan diatas tidak sejalan dengan konstitusi. Ketentuan pengusulan Capres-Cawapres diatur pada Pasal 6A ayat (2) bahwa pasangan capres dan cawapres diusulkan oleh parpol atau gabungan parpol peserta pemilu sebelum pelaksanaan pemilu. Ketentuan ini membuka peluang yang cukup besar bagi parpol yang telah terverivikasi sah menjadi peserta pemilu untuk mengusulkan pasangan capres dan cawapres. Sementara jika pengusulan capres-cawapres ditentukan berdasar pada ambang batas (Presidential Threshold) perolehan suara, maka peluang yang dijamin oleh konstitusi tersebut semakin sempit.
Sebagai bentuk pelaksanaan pemisahan kekuasaan (sparation of power) agar tidak terjadi bermuaranya kekuasaan pada satu tangan maka konstitusi mengatur tegas bahwa kekuasaan Pemerintahan Negara (eksekutif) dan kekuasan Dewan Perwakilan Rakyat (legislatif) diatur secara terpisah. Demikian halnya prosedur pengisian jabatan pada kedua lembaga negara tersebut juga diatur dengan ketentuan yang terpisah. Pasal 6A UUD NRI 1945 secara utuh mengatur tentang pengisian jabatan presiden dan wakil presiden, sementara pengisian jabatan DPR diatur dalam Pasal 19 dan Pasal 22E ayat (2) dan ayat (3) UUD NRI 1945.
Menentukan pasangan capres-cawapres dari hasil pemilu legislatif mengandung konsekuensi bahwa pasangan capres-cawapres sangat bergantung pada kekuatan politik kontestasi pemilu legislatif. Rakyat belum tentu berkehendak bahwa presiden/wakil presiden yang akan dipilih dan terpilih sama dengan pilihan anggota DPR dari parpol yang sama. Bisa jadi parpol yang diinginkan rakyat untuk mengisi jabatan lembaga legislatif adalah parpol A, namun presiden/wakil presiden yang dikehendaki rakyat justru dari parpol B, yang bisa jadi juga berasal dari parpol baru.
Solusi
Memilih capres-cawapres bukan sekedar karena latar belakang partai calon yang bersangkutan, namun juga karena kapabilitas, kualitas, bahkan integritas calon. Apabila tetap mempertahankan mekanisme ambang batas, calon dengan kekuatan politik yang besar namun sebenarnya kurang dalam kapabilitas, kualitas dan integritas berpotensi besar tetap menjadi capres-cawapres. Sehingga pilihan rakyat yang seharusnya cukup leluasa, ujung-ujungnya tersekenario karena adanya persyaratan ambang batas pencalonan.
Untuk mengatasi banyaknya pasangan calon yang diajukan oleh masing-masing parpol tanpa melalui penerapan ambang batas dapat dilakukan dengan pemilihan pendahuluan internal parpol seperti yang diterapkan di Amerika Serikat (AS). Dari hasil pemilihan pendahuluan dilakukan pendaftaran dan verifikasi oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU), dan wajib untuk mengikuti tahapan uji publik. KPU wajib menolak Parpol yang tidak dapat menunjukkan bukti telah melaksanakan pemilihan pendahuluan internal secara transparan dan akuntabel. Dengan demikian menurut hemat penulis persyaratan ambang batas atau presidential threshold sebagaimana draf Pasal 190 revisi UU Pemilu akan lebih tepat jika dihapuskan.
-Penulis adalah Mahasiswa Program Sarjana Ilmu Hukum FH UII, Aktif di Forum Kajian Dan Penulisan Hukum LEM FH UII