Hariansemarang.id – Udara di ruang rapat DPRD Kota Semarang, Jumat (13/6/2025) kemarin terasa sedikit berbeda. Bukan ketegangan yang lazim, melainkan aura keprihatinan yang mendalam, berpadu dengan harapan besar yang menggantung di setiap kalimat.
Para pimpinan sekolah Muhammadiyah, didampingi Majelis Pendidikan Dasar dan Menengah (Dikdasmen) Pimpinan Daerah Muhammadiyah (PDM) Kota Semarang, hadir membawa setumpuk catatan dan aspirasi. Mereka bukan hanya bicara tentang masa depan institusi mereka, tapi tentang nasib ribuan siswa dan ratusan guru yang menggantungkan asa pada kebijakan publik.
Wakil Ketua DPRD Kota Semarang, Suharsono didampingi anggota Komisi D Siti Roika dan Komisi A, Ali Umar Danidari Fraksi PKS mendengarkan saksama.
Di sisi lain meja, Ketua Majelis Dikdasmen PDM Kota Semarang, Sutarto, bersama jajaran kepala sekolah dari berbagai jenjang, mulai dari SMP Muhammadiyah 3 (Rojudin), SMA Muhammadiyah 1 (Aizun), SMK Muhammadiyah 1 (Widiastuti), hingga SD Muhammadiyah 6, 8, dan 10 (Suharno, Rosyid Ridho, Suwarno), serta pimpinan pendamping Sutomo dan Sukartono, mencoba merajut benang merah keprihatinan mereka.
Pajak dan Sekolah Gratis: Beban yang Mengimpit Lembaga Pendidikan Swasta
Salah satu sorotan utama yang mengemuka adalah isu pajak lembaga pendidikan. Bagi sekolah swasta seperti Muhammadiyah, pajak ini terasa seperti beban ganda.
Di satu sisi, mereka menjalankan fungsi publik, mencerdaskan anak bangsa. Di sisi lain, mereka diperlakukan seperti entitas bisnis biasa yang harus membayar pajak. Padahal banyak di antaranya berjuang mati-matian untuk tetap eksis dan menjaga kualitas tanpa membebani siswa terlalu tinggi.
Ini menjadi ironi, mengingat peran sekolah swasta seringkali menopang celah yang belum sepenuhnya terjangkau oleh fasilitas pendidikan negeri.
Tak kalah penting, polemik program sekolah gratis milik pemerintah juga mencuat. Muhammadiyah mempertanyakan prinsip keadilan dalam implementasinya. “Apakah program sekolah gratis ini sudah mempertimbangkan level playing field yang setara antara sekolah negeri dan swasta?” tanya mereka, seolah menyuarakan kegelisahan banyak yayasan pendidikan non-pemerintah.
Jika pemerintah menggratiskan pendidikan di satu sisi, sementara di sisi lain sekolah swasta tetap terbebani biaya operasional dan pajak, maka akan tercipta ketimpangan yang bisa mengancam keberlangsungan sekolah-sekolah swasta yang berkontribusi besar pada ekosistem pendidikan.
Nasib Guru dan Tenaga Kependidikan: Antara Piutang dan Harapan P3K
Isu guru dan tenaga kependidikan (GTK) pun tak luput dari perhatian. Mereka menyampaikan dinamika terkini terkait status GTK yang telah lolos formasi P3K. Banyak guru di sekolah swasta yang bertahun-tahun mengabdi, namun status dan kesejahteraan mereka masih rentan.
Pertemuan ini menjadi kesempatan untuk menyuarakan agar pemerintah daerah memberikan perhatian lebih pada masa depan para pengajar ini, yang merupakan ujung tombak pendidikan.
Soal dana operasional sekolah, Dikdasmen PDM Kota Semarang juga menyimpan data yang cukup menggetirkan.
“Kami mencatat, terdapat piutang pendidikan sekolah Muhammadiyah Semarang kepada siswa total sebesar Rp 7,6 miliar sejak tahun 2017 hingga 2023,” ungkap Ketua Majelis Dikdasmen PDM Kota Semarang, Sutarto dalam pertemuan tersebut, Jumat (13/6/2025).
Angka ini mencerminkan dilema yang dihadapi sekolah Muhammadiyah. Di satu sisi, mereka memiliki kepedulian tinggi terhadap siswa yang kesulitan membayar. Di sisi lain, piutang ini menumpuk dan menjadi tantangan finansial yang tak ringan.
Sementara piutang sebelum tahun 2017 telah diputihkan oleh pihak sekolah Muhammadiyah, menunjukkan komitmen PDM Kota Semarang dalam meringankan beban masyarakat.
Sinergi untuk Pendidikan Berkeadilan
Di tengah semua aspirasi tersebut, semangat kemitraan tetap menjadi inti pertemuan. Wakil Ketua PDM Kota Semarang, AM Jumai, dengan tegas menyatakan komitmen Muhammadiyah untuk terus mengawal agar lembaga pendidikan mereka mendapatkan ruang yang adil dan proporsional dalam kebijakan pendidikan di Kota Semarang.
“Sudah saatnya kebijakan pendidikan lebih mengedepankan prinsip keadilan dan pengakuan terhadap kontribusi sekolah swasta. Muhammadiyah siap bersinergi dengan pemerintah untuk melahirkan generasi yang unggul, berakhlak, dan berkebangsaan,” tegasnya, mengakhiri sesi aspirasi dengan nada optimisme.
Wakil Ketua DPRD Kota Semarang, Suharsono menyambut baik semua masukan. Ia menunjukkan komitmen legislatif untuk menjembatani aspirasi ini baik kepada kepala dinas pendidikan dan juga langsung kepada Wali Kota Semarang.
“Kami mengapreasiasi lembaga-lembaga pendidikan Muhammadiyah yang turut serta dalam mencerdaskan anak-anak kota Semarang. Nafas perjuangan inilah yg menjadi spirit kami di DPRD turut mendorong agar pendidikan semakin berkeadilan, merata dan meningkat kualitasnya,” ujar Suharsono.
Suasana yang tadinya penuh dengan daftar keprihatinan, perlahan berubah menjadi hangat dan penuh pengertian. Pertemuan yang sarat diskusi itu berakhir dengan jabat tangan erat, menyepakati pembentukan forum koordinasi lanjutan.
Ini bukan akhir, melainkan awal dari sebuah kolaborasi erat antara legislatif dan lembaga pendidikan. Demi terciptanya ekosistem sekolah yang lebih adil dan berkualitas di Kota Semarang. Harapan besar kini bertumpu pada tindak lanjut konkret dari pertemuan ini. (*)