Harian semarang.id – Pernahkah terlintas di benak para guru Muhammadiyah, bahwa setiap jam pelajaran, setiap coretan di papan tulis, bahkan setiap lelah sepulang sekolah, bisa jadi bekal berharga menuju surga?
Sebuah gagasan menarik ini menjadi inti pembahasan dalam kegiatan Baitul Arqom, ajang pengkaderan yang diikuti 43 pendidik dan tenaga kependidikan (GTT & KTT) sekolah Muhammadiyah se-Kota Semarang pada Sabtu-Minggu (12-13/7) ini.
Dihelat oleh Majelis Pendidikan Kader dan Sumber Daya Insani Pimpinan Daerah Muhammadiyah (PDM) Kota Semarang, acara ini tak sekadar rutinitas organisasi. Lebih dalam, para insan pendidikan diajak menyelami Pedoman Hidup Islami Warga Muhammadiyah (PHIWM), khususnya yang berkaitan erat dengan etika bekerja dan pengembangan profesi.
Adalah H. Suparno, Sekretaris PDM Kota Semarang yang didapuk menjadi narasumber utama pada Sabtu (12/7). Dengan gaya lugas, ia menjelaskan bahwa bekerja itu jauh lebih dari sekadar mencari nafkah duniawi. “Ini adalah bagian tak terpisahkan dari ibadah kita kepada Allah SWT,” tegas Suparno.
Bekerja Bukan Sekadar Rutinitas, Tapi Kewajiban Mulia
Suparno kemudian mengupas tuntas mengapa bekerja begitu ditekankan dalam Islam. “Bagaimana mungkin kita bisa menunaikan zakat, infak, sedekah, wakaf, bahkan haji dan umrah, tanpa harta? Dan harta itu tak akan datang begitu saja tanpa proses bekerja,” urainya.
Ini menjadi penekanan kuat, bahwa mencari nafkah adalah kewajiban syar’i, berbeda dengan pandangan sekuler yang sering memisahkan urusan dunia dan spiritualitas. Dalam Islam, keduanya menyatu, saling melengkapi.
Bahkan, ada keistimewaan luar biasa bagi mereka yang tekun berikhtiar. Suparno mengutip hadis riwayat Thabrani yang bunyinya begitu menyejukkan hati, “Barang siapa yang sore hari duduk kelelahan lantaran pekerjaan yang telah dilakukannya, maka ia dapatkan sore hari tersebut dosa-dosanya diampuni oleh Allah SWT.” Bayangkan, setiap lelah yang kita rasakan dari pekerjaan halal, bisa jadi penggugur dosa!
Lebih jauh lagi, ada dosa-dosa yang bahkan salat, puasa, haji, atau umrah tak sanggup menghapusnya. Namun, “Semangat dalam mencari rizki” justru bisa meluruhkannya. Ini tentu cambuk motivasi bagi kita semua, khususnya para guru Muhammadiyah, untuk senantiasa memberikan yang terbaik dalam setiap tugas.
Suparno juga membagikan kisah legendaris yang begitu menginspirasi: ketika Nabi Muhammad SAW mencium tangan Sa’ad bin Muadz Al-Anshari, seorang petani yang tangannya melepuh. Rasulullah bersabda, “Inilah tangan yang tidak akan pernah disentuh oleh api neraka.”
Kisah ini jadi pengingat, bahwa kerja keras yang dilandasi niat tulus dan integritas, bisa jadi jaminan surga. Ini berlaku untuk siapa saja, dari petani, pengusaha, hingga para pendidik dan tenaga kependidikan.
Tujuh Kunci Menjadikan Profesi sebagai Jalan Surga
Lantas, bagaimana caranya agar pekerjaan kita, termasuk sebagai pendidik, benar-benar menjadi tangga menuju surga? Suparno memaparkan tujuh kunci utama yang patut kita renungkan dan terapkan. Pertama, segalanya harus dimulai dengan niat ikhlas karena Allah SWT, bukan sekadar ambisi pribadi.
Lalu, kedua, kita dituntut untuk itqan alias sungguh-sungguh dan profesional, yang berarti bekerja harus tuntas, menunjukkan keahlian, dan penuh integritas. Mengutip sabda Nabi, “Sesungguhnya Allah mencintai seorang hamba yang apabila ia bekerja, ia menyempurnakan pekerjaannya.” Ini adalah standar kualitas tertinggi bagi setiap guru Muhammadiyah!
Kemudian, ketiga, kita wajib jujur dan amanah, menjaga kepercayaan, baik dari atasan, rekan kerja, maupun yang utama, dari Allah, dengan tidak berbuat curang atau mengambil hak yang bukan milik kita. Ini adalah fondasi etika kerja yang tak bisa ditawar.
Keempat, penting untuk menjaga akhlak dan etika sebagai seorang Muslim, sehingga setiap interaksi dan perilaku di lingkungan kerja mencerminkan adab yang baik. Selanjutnya, kelima, kita harus memastikan pekerjaan tidak melanggar prinsip syariah, menghindari praktik haram atau aktivitas yang justru menyebarkan kerusakan.
Tidak hanya itu, keenam, kita dianjurkan menghindari syubhat atau hal-hal yang meragukan antara halal dan haram. Prinsip kehati-hatian ini esensial untuk menjaga keberkahan rezeki. Dan yang ketujuh, yang tak kalah penting, adalah menjaga ukhuwah Islamiyah, memastikan bahwa pekerjaan yang kita lakukan tidak menimbulkan perpecahan atau konflik di antara sesama Muslim.
PHIWM, lanjut Suparno, bukan sekadar buku panduan. Ini adalah “program khusus yang mengikat seluruh warga, pimpinan, dan lembaga Persyarikatan Muhammadiyah,” dari pusat hingga ranting. Tujuannya jelas, untuk memastikan konsistensi dalam mengimplementasikan nilai-nilai mulia ini di setiap lini, termasuk di Amal Usaha Muhammadiyah (AUM) seperti sekolah. Seluruh pimpinan dan karyawan AUM didorong untuk tidak hanya profesional, tapi juga senantiasa mengasah spiritualitas melalui pengajian dan kajian Al-Qur’an dan Sunnah.
Dalam kegiatan yang sarat makna ini, tak hanya Suparno yang hadir. Ketua PDM Kota Semarang, KH. Fachrur Razi, turut menyampaikan Risalah Islam Berkemajuan Muhammadiyah. Sementara itu, Sutarto, Ketua Majelis Pendidikan Dasar dan Menengah serta Pendidikan Non-Formal (Dikdasmen & PNF), memberikan arahan tentang arah gerak pendidikan Muhammadiyah ke depan.
Sebagai penutup, Suparno menegaskan bahwa setiap profesi adalah wujud ibadah, dan bekerja adalah tanda syukur kita kepada Allah SWT. Dengan menjalani pekerjaan secara profesional, jujur, dan ikhlas, kita bukan hanya meningkatkan kualitas hidup, tetapi juga berkontribusi pada kemajuan umat dan meraih balasan terbaik dari-Nya.
Mari kita jauhi korupsi, kolusi, nepotisme, dan kebohongan, seperti seruan dalam QS. Al-Ahzab 70-71. Sebagai bagian dari keluarga besar Muhammadiyah, setiap langkah profesional harus menjunjung tinggi nilai halalan (halal) dan thayyibah (baik) demi kemaslahatan dunia dan akhirat. Jadi, teruslah bekerja dengan semangat dan keikhlasan, karena setiap usaha tulus adalah investasi tak ternilai untuk kehidupan yang lebih baik.