Oleh: Muhammad Bayanul Lail (Anggota Bawaslu Kabupaten Rembang)
Pemilu yang jujur dan adil tidak lahir semata dari regulasi yang baik atau lembaga yang kuat. Ia juga bertumpu pada partisipasi warga. Dalam konteks inilah, pengawasan partisipatif menjadi pilar penting dalam menjaga integritas demokrasi elektoral. Ini merupakan sebuah pendekatan yang menempatkan rakyat bukan hanya sebagai pemilih, tetapi juga sebagai pengawas.
Pengawasan partisipatif adalah bentuk keterlibatan aktif masyarakat dalam mengawasi proses pemilu, baik secara individual maupun kolektif. Partisipasi ini bukan sekadar pelengkap, melainkan kebutuhan. Karena demokrasi bukan hanya soal hasil, tapi juga soal proses yang harus diawasi bersama.
Bawaslu Kabupaten Rembang telah mengembangkan konsep ini dalam berbagai bentuk: mulai dari pembentukan Pengawas Partisipatif di tingkat desa dan kelurahan, penyelenggaraan Sekolah Kader Pengawasan Partisipatif (SKPP), kemitraan dengan organisasi masyarakat sipil, hingga fasilitasi pelaporan pelanggaran melalui kanal digital. Semua ini menunjukkan bahwa pengawasan bukan domain eksklusif lembaga, tetapi ruang kolaboratif antara negara, badan penyelenggara dan rakyat.
Namun, tantangannya masih besar. Rendahnya literasi hukum pemilu, apatisme politik, serta ketakutan akan intimidasi membuat banyak warga memilih diam. Padahal, partisipasi dalam pengawasan tidak harus berarti konfrontasi. Ia bisa dimulai dari hal sederhana: mengedukasi tetangga, menyebarkan informasi yang benar, atau mencatat pelanggaran di lingkungan sekitar.
Mendorong pengawasan partisipatif berarti membuka ruang kepercayaan antara lembaga dan masyarakat. Ini membutuhkan pendekatan yang humanis, membumi, dan menjangkau seluruh lapisan sosial. Bukan hanya ke kampus dan kota, tetapi juga ke desa-desa, komunitas adat, dan generasi muda digital.
Lebih jauh, pengawasan partisipatif juga berfungsi sebagai early warning system bagi pelanggaran yang sulit dijangkau oleh pengawas formal. Ketika politik uang, intimidasi, terjadi di lorong-lorong tersembunyi, suara masyarakat menjadi kunci deteksi awal. Tanpa keterlibatan warga, banyak pelanggaran hanya menjadi bisik-bisik tanpa bukti dan tanpa tindak lanjut.
Karenanya, penting untuk tidak menjadikan pengawasan partisipatif sebagai agenda seremonial semata. Ia harus dikembangkan secara berkelanjutan, dengan pendidikan politik yang kontekstual dan pemberdayaan yang konkret. Setiap warga negara harus mempunyai rasa memiliki pemilu dan karenanya timbul tanggung jawab untuk menjaganya. Hal tersebut bagian dari otoritas moral untuk bersuara dan bertindak terhadap pelanggaran yang terjadi di sekitar mereka.
Pengawasan partisipatif juga memperluas makna demokrasi. Ia bukan hanya soal memilih lima menit di bilik suara, tetapi tentang merawat kejujuran proses secara terus-menerus. Ketika warga ikut mengawasi, pemilu menjadi lebih transparan. Ketika warga berani bersuara, politik menjadi lebih sehat.
Karena itu, pengawasan partisipatif juga merupakan ruang pembelajaran demokrasi. Di sana masyarakat dilatih berpikir kritis, memahami regulasi, dan mengenali hak-haknya sebagai warga. Maka ketika mereka terlibat, bukan hanya pelanggaran yang diawasi, tetapi juga kepercayaan publik yang diperkuat.
Membangun pengawasan partisipatif adalah pekerjaan jangka panjang Bawaslu Kabupaten Rembang. Tapi dari situlah akan lahir demokrasi yang tidak hanya prosedural, melainkan substantif. Demokrasi yang tidak hanya diselenggarakan, tetapi juga diawasi, dijaga, dan diperjuangkan bersama. Demokrasi juga butuh rakyat yang sadar, peduli, dan berani mengawasi.