Oleh Yudhie Haryono – CEO Nusantara Centre
Apakah tiga proyek hilir pasca kudeta konstitusi? Adalah deindonesianisasi, demoralisasi dan deindustrialisasi. Inilah tiga program raksasa yang terlihat di depan mata. Tiga kerja dahsyat yang terstruktur, sistematis dan masif.
Bukan main-main. Bukan sembarangan. Bukan semaunya. Sebaliknya, ini merupakan peristiwa yang menghasilkan kondisi: Indonesia tidak sedang baik-baik saja. Karenanya, kita merasakan bahwa sistem pendidikan kita dirancang untuk menghasilkan babu dan dealer, bukan inovator dan leader.
Kita merasakan bahwa sistem ekonomi kita dirancang untuk menghasilkan kemiskinan, ketimpangan dan ketidakberdaulatan, bukan kesejahteraan, kemandirian dan kesentosaan. Saat bersamaan, sistim politik kita dirancang untuk menghasilkan konflik dan keterbelahan, bukan harmoni dan gotong-royong. Ujungnya, semua kurikulum kita dibuat untuk mengatasi satu masalah, padahal yang kita hadapi sebenarnya milyaran masalah (kompleks)
Saat ipoleksosbudhankam kita lebih banyak dilepaskan dari teks dan konteksnya, lalu lebih percaya pada tafsir asing, aseng dan asong maka secara prinsip, kita memeluk deindonesianisasi. Inilah proses penghapusan budaya, bahasa, dan jiwa raga Indonesia.
Proyek ini juga terjadi ketika perusahaan atau organisasi kita mengadopsi budaya dan praktik global sehingga mengurangi identitas Indonesia; membiarkan kekuatan kolonial mengganti ciri khas sehingga kehilangan pola dan tipe Indonesia; warga-negara mengadopsi nilai-nilai negara lain sehingga terhapus kultur sendiri.
Saat menerima deindonesianisasi, secara langsung kita pasti menerima demoralisasi. Moral Indonesia hancur, habis bahkan punah. Ini adalah sikap warga-negara yang mengabaikan nilai-nilai moral atau etika dalam tindakannya; juga abai pada nilai baik atau buruk, benar atau salah; mereka hanya mempertimbangkan kepentingan atau keuntungannya, keluarganya, kelompoknya: bukan kepentingan nasional.
Demoralisasi menjadi sikap aktif menolak atau melanggar nilai-nilai moral; maka tentu bersifat anti-moral. Dari sini, kita memproduksi terlalu banyak kebijakan publik yang tidak berguna sambil menghasilkan terlalu banyak elite yang tidak bermanfaat.
Itulah tragedi keseharian kita kini. Tetapi, tragedi terbesar yang kita hadapi adalah ketika punya presiden dan elite politik yang tidak memiliki cukup empati (tuli, buta dan bisu) pada negeri dan warga-negaranya.
Pada presiden dan elite seperti itu, tradisi yang dikembangkan adalah kebudayaan anti intelektualisme dan anti inovasi yang melahirkan deindustrialisasi.
Ya. Deindustrialisasi adalah proses penghancuran kegiatan industri demi terciptanya peningkatan pengangguran; sehingga terjadi penghancuran pertumbuhan ekonomi; berujung perubahan struktur sosial dan komunitas industri dengan melahirkan masyarakat konsumen: anti produsen. Ini pasti pro importir sekaligus anti eksportir.
Akhirnya, Indonesia kuat sekali di korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN). Lemah sekali di etik, moral dan penegakkan hukum. Indonesia kuat di ekstraksi sumber daya alam, roll material dan pertanian dasar. Lemah sekali di sektor manufaktur, teknologi dan inovasi.
Sungguh, saat terjadi deindonesianisasi, demoralisasi dan deindustrialisasi, akan terus meningkat penderitan yang sangat besar dan maha luas pada warga-negara. Mereka akan jadi babu, pengemis, budak dan pelacur yang dihisap segalanya tanpa harga.
Bagaimana menghadapi itu semua? Indonesia harus melakukan revolusi kelima yang isinya pergeseran fundamental dari praktik ekstraksi sumber daya alam ke praktik reindustrialisasi yang solid karena berlandaskan moral pancasila. Tentu, ini tidak mudah karena komplotan pencari rente yang ada menolak perubahan, mereka anti kebahagiaan bersama. Ya. Rentenir dan mucikari memang menjadi “tipe ideal” para elite Indonesia, dari profesi apapun mereka berasal.(*)