Oleh Tony Rosyid – Pengamat Politik dan Pemerhati Bangsa
PPP sedang dibayangi nasib PBB dan Hanura. Terlempar dari DPR dan tidak kembali lagi. Setidaknya hingga saat ini. Apakah PPP akan bernasib sama?
Ada perbedaan signifikan antara PPP dengan PBB dan Hanura. Pertama, PBB dan Hanura adalah partai baru. Lahir di era reformasi. Posisinya belum begitu kuat dan kokoh. Sementara PPP lahir di awal Orde Baru. Matang dan berpengalaman. Hanya saja, kematangan pengalaman PPP tidak direpresentasikan oleh elitnya sejak Pilgub DKI 2017.
Kedua, PPP punya basis massa yang relatif solid, karena terorganisir puluhan tahun. Kelompok muslim fanatik yang oposan terhadap Orde Baru umumnya adalah pemilih PPP. Kelompok ini sebagian tetap mendukung PPP meski lahir sejumlah partai Islam baru seperti PKB, PAN, PKS dan PBB.
PBB, meski mengambil narasi untuk menghidupkan Masyumi, tetapi pemilih generasi muda tidak mengenal heroisme Masyumi. Sudah terlalu lama Masyumi mati, dan tidak dikenal lagi oleh mayoritas masyarakat Indonesia.
Beda dengan PPP, ada kontinuitas dalam kaderisasinya. Ini modal besar untuk bangkit kembali. Selama PPP memiliki stok massa pendukung yang bisa dipanggil ulang setelah mereka kecewa atas pilihan politik elitnya di Pilkada DKI 2017 dan dua kali Pilpres yaitu 2019 dan 2024.
Dalam kekalahan, kisruh di tubuh PPP semakin terasa. Kisruh ini terjadi pasca Surya Dharma Ali lengser dan berganti kepemimpinan. Perpecahan terus berlanjut. Ketika PPP punya kursi di DPR, perpecahan ini masih bisa dikendalikan oleh elit penguasa di PPP. Perpecahan bisa dikontrol karena masih ada sosok K.H. Maemoen Zubair, kiai kharismatik yang disegani oleh semua kelompok yang bertikai. Sejak K.H. Maemoen Zubair meninggal, berlanjut dengan kekalahan PPP, sejumlah kubu di PPP semakin sulit bertemu.
Gus Idror, putra K.H. Maemoen Zubair mengundang kelompok-kelompok elit PPP yang terbelah dan berupaya menyatukan. Hingga hari ini belum ada tanda-tanda perasatuan itu berhasil. Situasinya masih tetap sama, hingga menjelang muktamar PPP Agustus bulan ini. Muktamar terpaksa ditunda ke bulan November. Pemunduran jadwal Muktamar diduga karena PPP belum menemukan tokoh yang bisa dijadikan pemersatu untuk didaulat menjadi pemimpin PPP.
Di PPP, ada empat tokoh yang punya cukup pengaruh. Empat tokoh itu adalah Mardiono, Plt Ketum PPP. Bagaimanapun, Mardiono secara de jure dan de facto pemegang otoritas partai. Selain Mardiono, ada Arwani Tomafi, Sekjen PPP. Ada pula Romahurmuziy, mantan Ketum PPP yang saat ini menjabat sebagai Ketua Majlis Perimbangan Partai. Romy, panggilan akrab Romahurmuziy, adalah kader PPP yang dikenal paling lincah dan gesit. Romy lihai dalam melakukan terobosan-terobosan politis. Di PPP, orang yang dianggap paling banyak menghasilkan ijtihad dan langkah politik adalah Romy.
Selain tiga tokoh struktural PPP tersebut, ada nama Taj Yasin. Kader PPP yang saat ini menjadi Wagub Jateng untuk kedua kalinya. Taj Yasin adalah putra K.H. Marmoen Zubair, Kiai kharismatik yang istiqamah menjaga eksistensi PPP pasca runtuhnya Orde Baru.
Jika empat tokoh PPP ini kompak, bersatu dan secara bersama-sama mengusung satu tokoh yang disepakati untuk mimpinan PPP, maka PPP bisa dan punya peluang untuk bangkit. “Bisa” itu artinya ada potensi. Tidak otomaticly. Sebab, ada syarat-syarat lain yang harus dipenuhi untuk membangkitkan kembali PPP. Termasuk syarat strategik dan logistik.
Setidaknya, dengan kekompakan empat elit di PPP ini akan menjadi pondasi awal bagi infrastruktur organisasi. Tanpa kekompakan empat elit ini, rasanya sulit membayangkan PPP bisa recovery. Yang terjadi adalah konflik dan perpecahan yang berkepanjangan. Ini dipastikan akan menguras energi. Energi habis untuk bertikai, bukan untuk bangkit.
Jika empat tokoh ini mengusung satu kandidat dengan kesepakatan struktural, strategis dan program, lalu secara sinergis dan kolaboratif dijalankan bersama, maka peluang PPP bangkit bisa disusun kembali dengan lebih cermat dan terukur. Apakah itu Agus Suparmanto, eks menteri perdagangan, atau kandidat yang lain, yang paling penting adalah satunya langkah elit yang mempu menggerakkan kekuatan jaringan sosial-politik sampai tingkat bawah.
Jakarta, 7 Agustus 2025