![]() |
Presiden Joko Widodo |
Semarang, Harian Jateng – Selama ini idiom revolusi mental sering diartikan sebagai revolusi yang mental. Hal itu menjadi bukti ekspresi kekecawaan masyarakat atas kegagalan revolusi gagal yang dicanangkan Presiden Joko Widodo tersebut.
Baca juga: Indonesia Sudah Memasuki Zaman Edan, Benarkah?.
“Dalam Perpres dan Inpres, yang disebut revolusi mental adalah gerakan masif, terstruktur dan terorganisir oleh kita semua guna melahirkan mental-mental revolusioner yg menguatkan karakter konstitusional untuk mempertegas kepribadian dan jati diri bangsa sesuai dengan amanat Trisakti Soekarno,” ujar M Yudhie Haryono, Direktur Eksekutif Nusantara Centre, Senin (14/9/2015).
Guna mencapai tujuan tersebut, kata Yudhie, sistem pendidikan harus didesain untuk melawan mental kolonialis, fasis, feodalis dan fundamentalis.
“Mental revolusioner ini bertugas membangun identitas bangsa Indonesia yang berdaulat, berbudaya dan beradab; modern, mandiri dan martabatif; berdaya saing, inovatif dan kreatif dengan menjunjung tinggi nilai-nilai kehidupan hibrida yang hidup di Indonesia,” papar penulis buku Merebut Mimpi Bangsa tersebut.
Tanpa mental revolusioner, lanjut dia, maka revolusi mental akan absen.
“Tanpa revolusi mental maka janji proklamasi kemerdekaan akan kosong. Tanpa proklamasi kemerdekaan maka negara makmur sejahtera berkeadilan akan tinggal kenangan. Kini atau tidak sama sekali,” beber dia.
Goal dari perpres dan inpres revolusi mental adalah terciptanya mental, lanjutnya, spiritual, intelektual dan kapital berbasis konstitusional. Akan tetapi, mengapa revolusi mental sering disebut-sebut sebagai revolusi yang mental.
Menurut dia, hal itu bukti bahwa presiden Indonesia kurang cerdas, makanya revolusi mental disebut revolusi yang mental. (Red-HJ55/Foto: Kemendagri.go.id).