Membaca tulisan Tony Rosyid, pengamat politik dan pemerhati bangsa, berjudul “Tanpa Soeharto, PKI Akan Berkuasa di Indonesia” saya sangat tertarik. Apakah benar demikian?
Partai yang sudah dihancurkan sampai ke akar-akarnya lebih dari 50 tahun yang lalu itu benar-benar akan berkuasa jika tidak ada orang yang namanya Soeharto?
Sebenarnya, saya sendiri merasa aneh membicarakan suatu partai, organisasi, atau kelompok yang tentu saja terdiri dari banyak anggota, kumpulan manusia, dari Sabang sampai Merauke, yang sudah tidak ada. Hal yang dibicarakan biasanya yang jelek-jelek. Tapi pihak yang dibicarakan itu tidak punya kesempatan untuk memberikan tanggapan.
Lha gimana, wong mereka sudah mati? Sudah dibubarkan? Tentu tidak punya kesempatan untuk menyampaikan tanggapan atas segala pembicaraan jelek mengenai mereka.
Namun, sebagai seorang pemerhati sejarah, saya terpanggil untuk memberikan pandangan berdasarkan apa yang saya ketahui. Secara jujur, dan apa adanya. Dalam konteks untuk berdialog secara intelektual dan ilmiah.
Bangsa ini sudah memasuki era reformasi lebih dari 20 tahun. Setelah 32 tahun berada pada kekuasaan militeristik yang otoriter bernama Orde Baru pimpinan Jenderal Besar Soeharto, kita memasuki alam demokrasi.
Jika dulu bicara saja kita harus berhati-hati, dan bila salah kata bisa-bisa ditahan, atau malah diculik, dibunuh, dihilangkan, di era reformasi kita bisa lebih bebas untuk menyampaikan pendapat, ataupun kritik. Namun entah kenapa, pada tahun-tahun belakangan ini dihembus-hembuskan isu tentang PKI di Indonesia dan segala macam kejelekannya.
Bila tidak salah ingat, persaingan politik pada 2014-lah yang menjadi awal mula. Jika sejak masa Presiden BJ Habibie, sampai dengan SBY, tidak ada huru-hara mengenai isu PKI di Indonesia, sejak tahun tersebut, ruang publik dipenuhi dengan isu bangkitnya PKI. Seolah pertarungan politik pada 1960-an dibawa kembali ke era saat itu dan sampai dengan sekarang.
Memang benar, pada 1960-an, atau pasca Dekrit Presiden 5 Juli 1959, ada tiga poros kekuatan politik di Indonesia. Yaitu Presiden Soekarno, Angkatan Darat, dan PKI. Saat itu, negeri ini masuk pada era yang dinamakan Demokrasi Terpimpin. Bung Karno tampil sebagai penyeimbang antara AD dan PKI.
Keseimbangan kekuatan itu kemudian goyah lantaran ada peristiwa berdarah pada 1 Oktober 1965 dini hari. Enam jenderal senior AD dan satu orang perwira menengah diculik dan dibunuh oleh sekelompok tentara yang menamakan diri mereka sebagai Gerakan 30 September 1965.
Para jenderal yang terbunuh merupakan orang-orang dekat Jenderal Ahmad Yani, yang kala itu menjabat sebagai Menteri/Panglima Angkatan Darat. Dalam satu malam, sebuah faksi di tubuh AD, dihabisi. Yaitu faksi Jenderal Ahmad Yani.
Sementara itu, Jenderal Nasution, yang saat itu punya faksinya sendiri, selamat dari pembunuhan. Namun ketika itu, Jenderal Nasution bukanlah seorang perwira tinggi militer yang memiliki kendali langsung terhadap ABRI meskipun menjabat sebagai Kepala Staf Angkatan Bersenjata.
Adalah suatu fakta bahwa sebagian dari komplotan G30S merupakan pasukan Cakrabirawa, pasukan pengawal presiden. Tapi, tidak semua tentara yang melakukan gerakan penculikan dan pembunuhan itu adalah dari Cakrabirawa. Ada tentara atau pasukan dari Kodam Diponegoro, dan Brawijaya.
Dan kedua pasukan itu dipanggil oleh Soeharto yang ketika itu menjadi Pangkostrad, dengan perintah membawa senjata tempur lengkap. Dengan alasan persiapan Hari Angkatan Bersenjata pada 5 Oktober 1965. Namun, merupakan fakta bahwa para pelaku tersebut berasal dari Angkatan Darat.
Kembali ke persoalan tiga kekuatan politik yang ada di Indonesia ketika itu, Soekarno, AD, dan PKI. Siapa yang akan menggantikan Soekarno yang sudah uzur, presiden seumur hidup?
Entah kenapa, tidak banyak yang menyampaikan bahwa pihak yang mengusulkan agar Bung Karno mendapat jabatan presiden seumur hidup itu adalah dari Angkatan Darat sendiri. Tujuannya adalah agar mempertahankan status quo, Bung Karno tetap menjadi presiden, dengan demikian, menutup pintu bagi PKI untuk menduduki jabatan itu melalui mekanisme pemilu (parlemen/DPR).
Dan pertanyaan berikutnya kenapa saat itu tidak dibuka pintu pemilu? Agar sirkulasi kekuasaan bisa berganti secara baik, fair, atau adil? Sehingga tidak perlu sampai memicu peristiwa berdarah semacam G30S atau Gestok. Kembali ke strategi yang dipakai oleh AD, yaitu agar PKI tidak tampil sebagai pemenang, mendominasi suara, lalu dengan mudah memilih presiden dari kader mereka melalui parlemen atau DPR.
Sebuah situasi yang menarik yang dihadapi PKI, kompetitornya bukan lagi sesama partai politik. Tapi Angkatan Darat. Suatu kondisi yang hanya terjadi di Indonesia.
Jika disebutkan ABRI tidak ingin Indonesia menjadi negara komunis, sementara PKI ingin Indonesia menjadi negara komunis. Apakah benar demikian?
Kita berbicara mengenai pertarungan politik, perebutan kekuasaan. Apakah tujuan ABRI, sebenarnya AD, sebagian pemimpinnya, anti PKI adalah karena itu? Atau karena alasan lain? Misalkan, karena PKI menjadi pesaing mereka dalam upaya merebut kekuasaan negara? Karena itu, mereka demikian benci dengan PKI, dan ingin mematikan partai tersebut.
Sudah menjadi catatan sejarah, sejak kemerdekaan, Angkatan Darat selain memiliki tugas dan wewenang sebagai alat pertahanan negara, juga cenderung berpolitik. Hal itu kemudian dilegitimasi dengan konsep jalan tengah dari AH Nasution yang dikemudian hari menjadi Dwi Fungsi ABRI.
Pada 1952, AH Nasution yang menjadi kepala staf Angkatan Darat berusaha menekan Presiden Soekarno dengan mengarahkan moncong tank ke Istana Negara. Nasution ingin agar Soekarno membubarkan parlemen. Tapi upaya tersebut gagal.
Meskipun demikian, ABRI tidak bisa ikut pemilu. Karena mereka bukan partai politik.
Soal PKI ingin menjadikan Indonesia negara komunis, apa bedanya dengan partai Islam yang ingin menjadikan Indonesia menjadi negara Islam? Malah partai Islam itu sempat mewujudkan keinginan mereka, di awal-awal kemerdekaan, saat membicarakan dasar negara, sampai di Konstituante. Tapi kemudian gagal.
Artinya bukan hal yang nista mengusung ideologi tertentu, dalam kehidupan bernegara. Bahkan, memperjuangkan ideologi itu menjadi dasar negara selain Pancasila.
Mengenai pemberontakan, bukankah kalangan Islam pernah melakukannya? Terbukti ada DII/TII, atau PRRI/Permesta yang disokong Masyumi dan PSI. Atau pihak-pihak lain, bahkan di kalangan tentara AD sendiri yang mendirikan dewan-dewan untuk menentang Jakarta.
Bicara mengenai Partai Komunis Indonesia, adalah nama yang lumrah-lumrah saja. Partai politik adalah kumpulan orang, kelompok, yang memiliki ideologi yang sama, kemudian ingin meraih cita-cita mereka.
Komunis merujuk pada suatu kelompok yaitu para buruh, tani dan kalangan miskin, terpinggirkan lainnya. Bahasa Jawanya wong cilik, kawula alit. Bahasa populer di kalangan mereka kaum proletar. Oleh karena mereka berada di Indonesia, Hindia Belanda ketika itu, maka tentu saja mereka menamakan diri sebagai Partai Komunis Indonesia.
Malah menariknya, PKI adalah partai, organisasi modern pertama yang menggunakan nama Indonesia. Bahkan sebelum Indonesia ini ada secara resmi atau diproklamasikan.
Mereka juga partai pertama yang berjuang dengan berlandaskan kepentingan nasional yaitu perjuangan bersenjata melawan pemerintah kolonial Belanda. Motifnya menuntut kemerdekaan. Bukan karena kepentingan pribadi. Namun, perjuangan itu gagal. Banyak dari pemimpin dan anggota mereka yang kemudian dibuang ke Bouven Digul Papua, dan dihukum mati.
Sesuatu yang menarik ketika disebutkan bahwa baik Soekarno, atau pun Soeharto, keterlibatan mereka terhadap G30S atau Gestok adalah asumsi, dan spekulasi. Lalu bagaimana dengan PKI? Apa basis yang menyatakan mereka terlibat dan bahkan menjadi dalang gerakan tersebut?
Semua berdasarkan asumsi, spekulasi, dan tuduhan. Sayangnya, faktanya memang demikian. Tapi partai ini sudah kadung menanggung akibat yang mengerikan. Dibubarkan, pemimpin dan anggotanya ditembak mati, dipenjara. Hampir semuanya tanpa proses pengadilan. Dan semua itu dianggap suatu kebenaran, hal yang layak dilakukan. Sampai sekarang.
Sedangkan, keterlibatan Soeharto disampaikan oleh salah satu pemimpin dari G30S yaitu Kolonel Abdul Latief. Dia mengaku menemui Soeharto di RSPAD pada malam 30 September itu. Dari keterangan Latief ini, Soeharto malah mendukung G30S.
Mantan wakil perdana menteri Soebandrio juga menyatakan bahwa Soeharto mengetahui G30S dan pada malam itu, ia siaga di markas Kostrad.
Dari sisi logika, Soeharto adalah Pangkostrad. Dia tentu punya motif untuk menduduki posisi Panglima AD. Yang akhirnya memang dia lakukan secara sepihak. Setelah itu, dia gunakan AD untuk menghancurkan PKI, dan mendongkel Presiden Soekarno.
Soeharto dan para pendukungnya tentu tidak pernah memikirkan nasib orang-orang yang dibunuh, dipenjara secara zalim tersebut. Bahkan mereka yang mengaku beragama Islam yang rahmatan lil alamin juga termasuk menjadi pelaku pembantaian keji tersebut.
Padahal Islam jelas melarang membunuh seorang manusia yang tidak berbuat kerusakan, karena dosanya sama dengan membunuh seluruh manusia di dunia ini. Selain itu, Nabi Muhammad SAW, panutan umat Islam, mengajarkan umatnya itu untuk tidak membunuh musuh yang sudah menyerah atau tidak berdaya.
Coba tengok lagi kisah pembantaian rakyat Indonesia, dengan hati yang lebih jernih, dan jujur. Pasca peristiwa G30S-1965, pantaskah itu dilakukan manusia yang mengaku sebagai pemeluk agama rahmatan lil alamin? Sebuah agama luhur, penyayang, rahmat, pelindung, bagi alam semesta ini.
Belum bagaimana nasib anak, istri, dari para korban yang dibunuh, dipenjara tersebut. Terlunta-lunta, dan didiskriminasi sepanjang kekuasaan Orde Baru. Bayangkan, selama 32 tahun lamanya. Bahkan sampai sekarang sering disebut, “anak keturunan PKI” menjadi sasaran kebencian.
Seolah Islam mengajarkan dosa turunan. Dosa orang tua, juga ditanggung anak keturunannya. Tapi, dosa apa, tidak jelas. Dosa karena si orang tua menjadi anggota PKI? Padahal pada 1950-1965 itu, PKI adalah partai legal, diakui negara. Anggotanya ada yang jadi bupati, gubernur, anggota DPR, dan juga menteri.
Atau dosa karena orang tuanya membunuh? Membunuh siapa, tidak jelas. Kalau pun benar membunuh, apa iya anaknya ikut menanggung dosanya? Sejauh yang saya tahu, Islam mengajarkan masing-masing manusia memikul dosa mereka masing-masing.
Dari pengakuan Gus Dur, banyak orang pindah agama dari Islam ke Kristen, karena gesekan antara Islam dan PKI. Secara tidak sadar, para pelaku yang beragama Islam itu berperan membuat orang menjadi murtad. Yang dalam Islam, termasuk salah satu dosa besar. Lalu siapa yang salah kalau sudah begitu? Ada orang Islam yang terpaksa murtad, meminta perlindungan umat agama lain, karena demi menghindari pembunuhan dari kalangan Islam.
Islam seharusnya menjadi pelindung, rahmat untuk seluruh manusia dan alam semesta. Bukan sebaliknya, malah menjadi pelaku pembunuhan massal. Dan mendukung, bahkan sorak-sorak atas peristiwa tersebut.
Terus terang saya heran. Islam dikatakan sangat toleran. Tapi kemudian menjadi salah satu pihak yang paling anti terhadap PKI, atau komunis seolah PKI itu lebih buruk dari setan atau iblis. Atau seolah ada ajaran Islam yang memerintahkan umatnya untuk memusuhi, atau membenci PKI. Padahal dulu, di awal-awal PKI berdiri, banyak anggota atau pimpinan partai itu adalah kiai, atau ulama. Bahkan Aidit, adalah anak dari tokoh Masyumi di daerah.
Itu baru yang ada di dalam negeri. Bagaimana korban-korban lain di luar negeri? Pasca Soeharto berkuasa, rakyat Indonesia yang ada di luar negeri turut menjadi korban. Mereka ada yang sedang menempuh pendidikan, atau para dubes.
Setelah Presiden Soekarno jatuh, mereka dilarang masuk ke Indonesia, atau tak mau kembali ke Indonesia karena takut dipenjara atau dibunuh oleh rezim Soeharto. Jadilah mereka, para eksil itu, terlunta-lunta di sana. Kerja apapun untuk menyambung hidup mereka.
Pernahkah anda membayangkan penderitaan mereka? Apa salah mereka? Apakah mereka PKI, terlibat G30S? Ikut merencanakan gerakan tersebut sehingga harus menanggung dampak buruknya? Betapa zalimnya Soeharto.
Dan perlu kita ingat bersama-sama, para korban Soeharto usai peristiwa 1965 tidak hanya dari kalangan PKI, tapi orang-orang non PKI juga menjadi korban. Bung Karno, Soebandrio, menteri-menteri Bung Karno, Panglima AU ketika itu, Omar Dani, dll. Luar biasa banyaknya korban dari jenderal besar tersebut. Tidak mengherankan jika banyak orang menyebutnya haus darah, harta dan kekuasaan.
Sejarah juga mencatat bahwa Soeharto mengambil alih pimpinan AD secara sepihak. Bahkan ketika Presiden Soekarno menunjuk orang lain, dia membangkang. Pada akhirnya, karena tertekan, Bung Karno memberikan surat perintah 11 Maret untuk Soeharto dengan tujuan mengembalikan keamanan negara. Tapi apa yang terjadi, Soeharto dengan licik menyalahgunakan surat tersebut untuk membubarkan PKI. Partai legal, yang mengikuti pemilu, dan menempatkan kader atau anggota mereka di sejumlah lembaga negara.
Apakah pembubaran itu benar? Tentu saja tidak. Kenapa? Karena keterlibatan PKI sebagai dalang dalam peristiwa G30S hanya berdasar asumsi, spekulasi, tuduhan atau fitnah. Tidak ada putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap yang jadi dasar pembubaran itu. Selain itu, hanya Bung Karno yang saat itu jadi presiden yang punya wewenang membubarkan partai. Silahkan dipikirkan secara jernih, sampai hari ini, tuduhan bahwa PKI, secara organisasi, adalah dalang G30S hanyalah berdasarkan tuduhan semata.
Pembubaran itu sepenuhnya berdasarkan kekuasaan, karena Soeharto sudah menguasai AD, bersenjata, dan berhasil menghasut rakyat dan mahasiswa untuk mendukungnya, mengutuk Bung Karno, dan menuntut pembubaran PKI.
Akhirnya menjawab pertanyaan di atas, “Tanpa Soeharto, PKI Akan Berkuasa di Indonesia” sekaligus bicara mengenai persoalan “Jika PKI tidak dibubarkan Soeharto.”
Soal pertanyaan tersebut, jawabannya memang benar. Tapi jangan membayangkan PKI berkuasa melalui pembunuhan besar-besaran seperti naiknya Soeharto menjadi presiden.
Harus kita ketahui bahwa PKI pasca 1948 adalah PKI dengan jalan baru. Aidit dan kawan-kawannya seperti Nyoto, Lukman, Sakirman, Sudisman, adalah anak-anak muda komunis dengan pemahaman yang baru. Mereka membangun PKI dengan paradidgma baru yaitu berkuasa melalui jalan parlementer. Jalan parlementer adalah lewat pemilu, jalan damai. Seperti partai-partai sekarang yang ikut pemilu.
Disebutkan bahwa mereka menyingkirkan tokoh-tokoh PKI lama yang menginginkan partai itu tetap mengambil jalan kekerasan, bersenjata, dalam meraih kekuasaan.
PKI-nya Aidit dkk ikut pemilu 1955, dan berhasil meraih 16 persen suara, lalu masuk menjadi partai terbesar nomor 4, setelah PNI, Masyumi, dan NU. Mereka mengirim kader, anggota-anggota mereka ke Konstituante, dan parlemen (DPR).
Apakah kita akan mengatakan 16 persen rakyat Indonesia yang memilih PKI itu sebagai orang-orang jahat, ateis, tidak bertuhan, dan berkelakuan kejam? Ingat, 16 persen bukan angka yang kecil. Bandingkan dengan partai-partai sekarang, tidak banyak yang bisa meraih suara sebesar itu.
Kenapa PKI bisa sampai mendapatkan dukungan masyarakat sebesar itu? Jika mau jujur, tidak lain karena program yang mereka tawarkan ke masyarakat, adalah program yang mengena atau diterima. Program mereka mampu membuat masyarakat memilih partai tersebut. Partai buruh, tani, orang-orang miskin, kecil tersebut.
Program mereka tidak hanya menyentuh buruh, dan tani, tapi juga para pegawai negeri, dan para prajurit TNI kelas rendah. Bahkan menjanjikan kebebasan beragama untuk kalangan beragama. Tentu ini berbeda dari fitnah rezim Orde Baru dan para pendukungnya.
Hasilnya, mereka sukses masuk empat besar, dan terus konsisten dengan program mereka tersebut, membela rakyat kecil, kalangan bawah.
Pada 1965, PKI mampu memenangkan banyak pemilihan kepala daerah. Kader-kader mereka banyak yang menjadi bupati, gubernur. Dan benar, jika tahun-tahun itu ada pemilu, maka mereka bisa meraih kekuasaan. Tapi melalui jalan damai, jalan pemilu, atau jalan parlementer seperti yang Aidit tetapkan.
Keliru jika mengatakan komunis selalu revolusi bersenjata dalam meraih tujuannya. Salah satu komunis yang tidak berpandangan seperti itu adalah PKI tahun 1950-65. Mereka ikut pemilu dan tidak bersenjata.
Itulah salah satu alasan Bung Karno bersedia merangkul dan melindungi PKI. Karena partai tersebut di bawah kepemimpinan Aidit adalah partai komunis yang berbeda dengan partai komunis di negara-negara lain seperti China, Vietnam, atau Korea, yang berjuang melalui jalan bersenjata. Selain itu, Bung Karno pernah mengatakan bahwa jasa PKI terhadap Indonesia lebih banyak dibanding golongan lain, baik nasionalis maupun agama.
Kenapa Bung Karno tidak mau membubarkan PKI pada 1965 itu? Karena belum ada bukti kuat yang menyatakan partai itu, secara organisasi, terlibat atau menjadi dalang G30S atau Gestok.
Bung Karno adalah sosok nasionalis yang dewasa, bijaksana, dan tidak anti kiri atau kanan. Tidak berpikiran sempit. Sosok pemimpin ideal untuk negara bangsa seperti Indonesia yang memiliki banyak aliran ideologi di masyarakatnya.
Ia tidak gebyah uyah seperti Soeharto yang main bunuh, tembak mati, penjara hanya demi dia meraih kekuasaan, menjadi presiden. Bung Karno menunggu penyelidikan, dan tidak menemukan keterlibatan PKI secara organisasi dalam peristiwa berdarah tersebut.
Tapi karena sikapnya itu, dia kemudian jadi sasaran empuk untuk dijatuhkan Soeharto dan kelompoknya. Sampai kemudian menjadi tahanan rumah, dan dibunuh secara perlahan-lahan.
Nah, jika PKI tidak dibubarkan Soeharto secara paksa dan dengan kekerasan, dan pada 1965, atau tahun-tahun tersebut ada pemilu, maka benar, PKI bisa berkuasa. Berkuasa melalui jalur yang sah. Dengan memenangkan pemilu, meraih suara mayoritas. Lalu mengirim kader mereka untuk menjadi presiden.
Di mana salahnya? Tentu seharusnya tidak ada. PKI partai politik, tujuan mereka tentu meraih kekuasaan. Tapi PKI yang dipimpin Aidit dkk, memilih berkuasa melalui jalan parlementer. Dan jika mereka berkuasa, bisa saja Indonesia jadi negara yang maju, berdikari, dan anti nekolim. Sejajar dengan negara-negara besar di dunia seperti AS, dan China sekarang.
Bangsa Indonesia memang harus tahu sejarah mereka secara benar. Tidak boleh ada manipulasi. Sudah cukup 32 tahun Indonesia berada di bawah rezim tirani Orde Baru. Alangkah anehnya jika sampai hari ini kita masih saja terkungkung dengan ajaran rezim yang tangan mereka berlumuran dengan darah rakyat Indonesia tersebut.
Bukan hanya kalangan kiri, pendukung Bung Karno, tapi juga kalangan Islam itu sendiri, seperti saat puluhan bahkan ratusan orang dibantai di Tanjung Priok, Talangsari Lampung, atau tempat-tempat lainnya misalnya di Papua kemudian Timor Timur.
Ahmad, rakyat biasa pemerhati sejarah