Orang-orang sekulah memanggilmu Ella. Mungkin karena seperti futurolog. Mungkin karena sedikit norak. Mungkin karena vision yang dimiliki. Mungkin karena bermakna yang tersakiti. Mungkin karena hilang dan kini ditemukan kembali.
Jika minggu pagi tiba, engkau mengirimiku nujum modern. Satu-satu kukumpulkan. Sudah setengah tahun. Saat engkau menyampaikan sedang bercinta dengan Tuhan, kuketik ulang di sini sebab aku cemburu. Fatwa terbaikmu tertulis, “banyak rumah semakin besar, tapi keluarganya semakin kecil.” Kini terlihat beberapa rumah mewah dan besar dengan satu dua anak, saat bersamaan pada gubuk-gubuk reyot dan mau roboh terdapat lima sampai sembilan anak-anak yang sumpek.
Dari tempat semedi saat mendapat tamu para malaikat, engkau menulis keresahan, “kini gelar semakin tinggi, akal sehat semakin rendah. Pengobatan semakin canggih, kesehatan semakin buruk.” Aku termenung membacanya berulang. Tapi sisa wangi jiwamu yang kuhirup semilyar tahun lalu masih terasa. Maka, walau tiap malam kini hujan bertalu-talu aku tetap ingat padamu. Jiwamu tak terbawa hanyut banjir hujan yang marah karena hutan-hutan digunduli tangan-tangan syaitan.
Dari tempatmu bercinta, engkau masih terus mengirim fatwa mutakhir yang keren dan tangguh, tulismu “kini kita melakukan travelling keliling dunia, tapi tidak kenal dengan tetangga sendiri. Kita mendapat penghasilan semakin meningkat, tetapi ketentraman jiwa semakin berkurang karena konflik dan saling sikut.” Membacanya seperti sedang melihatmu telanjang dada yang bergemuruh marah dan pasrah.
Dari gunung yang sedang engkau daki, kuterima ketikan yang makin jleb, “kualitas ilmu semakin tinggi, tapi kualitas emosi semakin rendah. Jumlah manusia semakin banyak, tapi rasa kemanusiaan semakin menipis. Pengetahuan semakin bagus, tapi kearifan semakin berkurang. Perzinahan semakin umum, tapi kesetiaan semakin punah.” Tapi kita bisa apa? Semua makin gelap dan tak tahu kita harus bagaimana. Kakiku dan mataku terasa terantuk batu dan godam dari neraka.
Dari tempat sekulah TK engkau mengajar, kuterima fatwa lainnya. “Kini kita makin banyak teman di dunia maya, tapi tidak punya sahabat yang sejati. Minuman semakin banyak jenisnya, tapi air bersih semakin berkurang jumlahnya. Pakai jam tangan mahal, tapi tak pernah tepat waktu.” Hipotesa-hipotesamu makin menghipnotis jantungku. Sampai-sampai aku sering tersedak. Andai saja kau baca itu di depanku, sudah kuhabisi bibirmu.
Dari rumah ibadah yang makin ramai, engkau juga pernah mengirim gundah. Sejumput sumpah serapah. “Ilmu semakin tersebar, tapi adab dan akhlak semakin lenyap. Belajar semakin mudah, tapi para guru semakin tidak dihargai.” Semua betul. Semua tesismu benar. Tapi siapakah yang bisa bertahan? Siapakah yang mampu memperbaiki? Sebab kini kita rasakan bersama Tuhan bisu tuli dan tak sudi.
Kawan, katamu. Di sisa umur kita, “teknologi informasi semakin canggih, tapi fitnah dan aib semakin tersebar. Orang yang rendah ilmu banyak bicara, tapi orang yang tinggi ilmu banyak terdiam. Tontonan semakin banyak, tuntunan semakin berkurang. Akhirnya tontonan yang kurang baik, kurang mendidik berkembang jadi tuntunan. Sehingga yang rusak makin tambah rusak.” Aku ngilu membacanya. Entah orang lain. Mungkin karena aku masih manusia. Bukan malaikat apalagi syaitan yang tinggal di istana.(*)
Yudhie Haryono