Kulihat sudah lima tahun ada orang mondar-mandir berbaju lengan panjang, bervisi pendek. Tak ada prestasi besar. Padahal Indonesia itu terang. Kita yang menggelapkannya. Indonesia itu kaya. Kita yang memiskinkannya. Indonesia itu damai. Kita yang mengkroditkannya.
Maka mestinya, di negara Pancasila, UU dibuat untuk melindungi, mencerdaskan, menyejahterakan dan memuliakan rakyatnya. Di negara Petruk, UU dibuat untuk menangkap, mengkriminalisasi, mengintimidasi dan memeras rakyatnya.
Kubaca-baca dengan teliti. Beberapa data yang menarik hati. Dalam studi postkolonial Indonesia, kita akan sampai pada sejarah kopra, kopi, teh dan kakao (coklat). Kini kita adalah penghasil terbesar di dunia, empat varietas tadi. Tapi jika salah kelola, bukan tidak mungkin akan jadi milik orang lain seperti sawit, garam, pala dan tembakau (rokok). Empat varietas purba yang melahirkan jalur rempah dunia.
Sungguh, ini soal-soal ideologis dan kecerdasan manajemen pengelolaan negara. Tidak sekedar citra dan keluguan semata. Apalagi soal malingter dan keluarga. Hal-hal yang justru jadi pilar rezim-rezim di kita. Maka, janganlah jadi presiden berlengan panjang tapi bervisi pendek. Jangan ulangi hal buruk di masa lalu dari presiden-presiden sebelum kalian. Kalau cuma mengulang dan memperburuk, anak bodoh juga bisa.
Di republik pancasila ini, mataku menerawang. Aku mengingat banyak hal. Salah satunya soal ujian hidup. Dan, dari milyaran ujian Tuhan untukku ternyata yang yang paling berat adalah soal rinduku padamu yang membisu. Maka, aku menghibur diri dengan mengetik kalimat, “jangan membayangkan kerinduan dari orang yang tak merindukanmu.”
Kini. Ya kini dan kemudian. Yang tertinggal, hanya senyummu. Di ayunan samping rumahku. Tahajud makin keriput. Takhayul makin tumpul. Berlalu. Tak berlaku. Bulan dan air sungai tergencit malam. Kisah pejala ikan makin galau temaram. Antara keadilan dan jakarta, mereka saling nista dan tipu daya. Adakah kita mati dalam paria, adalah pilihan yang dapat ditinggalkan? Semoga bukan.
Di negeri pancasila, sekulah kita kini tidak hasilkan murid yang hebat kemampuan menanya, menyidik dan
menyelidik. Nalarnya diabsenkan. Yang lahir hanya tukang hapal kita-kitab dan nujum-nujum. Industri dan matematika tak berada di nalar kita.
Di negeri pancasila, mestinya lahir banyak mesiah yang idealis dan zuhud. Tapi yang kita panen kini malah para sengkuni. Tentu, para sengkuni dikenal sebagai biang keladi terjadinya perpecahan dan peperangan dan pemiskinan manusia dan negara. Sosok ini lahir bagai seorang laki-laki yang mempunyai sifat cerdik, tipu sana tipu sini, sangat licik, suka berpura-pura dan provokatif.
Dalam kitab Mahabarata, Sengkuni merupakan personifikasi dari dua parayoga, yaitu masa kekacauan di muka bumi, serta pendahulu zaman kegelapan atau maliyoga. Kini kita sedang merasakan kekacauan ekopol dan kegelapan masa depan. Kita kini tak tahu sedang apa dan mau ke mana. Banyak bencana, banyak amoralisme dan banjir kenestapaan adalah buah sengkuni di istana.
Di republik pancasila, kita panen. Tapi panennya terkumpul ribuan koruptor. Kita memanen mereka tak pandang waktu dan tempat. Terus dan terus. Andai itu panen ilmuwan, betapa gigantiknya bangsa ini. Kini kita mbatin: panen kok koruptor. Akhirnya zaman kalabendu makin merajalela. Hancur di mana-mana.
Ada banyak yang menyebut mereka mesiah. Dibela sampai duitnya tumpah. Tapi faktanya mereka adalah mesiah palsu. Maka, kerjanya menipu yang tak tahu malu setiap waktu.(*)