Ah, Cak Imin lagi guyonan. Ketum PKB ini terlihat gak ada beban ketika mewacanakan pemilu ditunda. Kenapa gak ada beban? Karena bukan mau dia.
Mana ada partai ingin pemilu ditunda? Pemilu itu “masa panen”. Setiap partai sedang buka lapak. Bisa tutup gegara pemilu ditunda.
Publik mafhum, pemilu itu adalah momen partai cari logistik. Calon bupati, sekian. Calon walikota, sekian. Calon gubernur, sekian. Atas nama uang tiket, logistik atau apapun. Partai ini ingin jadi penguasa daerah sana, partai anu ingin berkuasa di daerah sini. Mosok mau tutup?
Kok bicara pemilu ditunda? Itu guyonan. Tapi guyonan serius. Untuk menyenangkan pihak yang memintanya. Kalau direspon, ok. Gak ada respon, Cak Imin pasti sudah tahu akan ada penolakan. Toh gak ada risiko politiknya, baik bagi Cak Imin maupun PKB.
Bagaimana dengan Zulkifli Hasan, ketum PAN? Nah, ini berisiko. Bahkan sangat berisiko. Konstituen PAN beda dengan PKB. Di PAN, penundaan pemilu sangat sensitif. Apalagi, PAN sekarang sedang mendapat rival serius dari Partai Umat dan Partai Pelita. Sama-sama diinisiasi berdirinya oleh dua mantan ketum Muhammadiyah, yaitu Amien Rais dan Din Syamsuddin.
Sekali ikut usul tunda pemilu, Zulkifli Hasan dihajar oleh kadernya sendiri. Minta maaf dan tarik pernyataan, atau KLB. Ngeri-ngeri sedap.
Anak buah Zulkifli pun kemudian membuka semua kronologi, sampai menyinggung pihak istana dalam kaitan wacana tunda pemilu ini. Detail dan gamblang. Maju kena, mundur kena. Gak cerita, diancam KLB dan potensial ditinggal konstituen. Cerita, pihak istana bisa marah. Risiko politik!
Sementara Airlangga Hartarto, ketum Golkar, tampak adem ayem. Kader Golkar lebih matang dalam menyelesaikan konflik internal. Tahu-tahu ketum diganti. Seringkali ada hal yang mengejutkan di Golkar, tanpa hiruk pikut di luar.
Yang pasti, reaksi dari berbagai pihak terhadap pemilu ditunda sangat besar. Dan gelombangnya terus membesar setelah PDIP menabuh genderang penolakan. Diikuti oleh lima partai yang lain.
Muhammadiyah melalui sekjennya secara lantang membuat pernyataan menolak pemilu ditunda. MUI juga menolak. Para akademisi sekelas Prof. Dr. Azumardi, penolakannya juga sangat keras. Bahkan meminta rakyat terus waspada, gak boleh lengah dengan manuver penundaan pemilu ini. Padahal kita tahu, guru besar UIN ini jarang ikut campur persoalan politik praktis di Indonesia. Terkait wacana pemilu ditunda ini, Azumardi bersikap tegas, bahkan keras. Waspadalah… Waspadalah… Waspadalah… Itu kira-kira yang digaungkan guru besar dan cendikiawan muslim yang satu ini.
Malah ada yang ancam mau gerakkan massa. Makin ngeri-ngeri sedap. Tapi memang, risiko sosial dan politik terlihat begitu sangat terasa jika pemilu dipaksakan untuk ditunda. Pendukung Presiden Jokowi sendiri banyak yang tidak setuju.
Soal manuver tunda pemilu, ini tidak ada hubungan lagi dengan siapa dukung siapa. Ini soal komitmen pada konstitusi. Terkait ini, PDIP dan lima partai yang menolak tegas: tunda pemilu itu inkonstitusional.
Dari hasil survei, penolakan partai-partai, hingga pernyataan ormas besar dan MUI, mudah ditarik kesimpulan bahwa menunda pemilu itu inkonstitusional dan berpotensi akan menimbulkan gejolak sosial dan politik yang dahsyat.