Oleh Yudhie Haryono
Jumudnya Indonesia itu jumudnya islam, dan jumudnya muslim itu jumudnya Indonesia. Jika kaum muslim lahir kembali dengan kecerdasannya, Indonesia akan memimpin dunia. Muslim yang menjadi driving force karena melahirkan ilmuwan, cendekiawan dan sarjana yang unggul plus zahid. Muslim yang menjadi pembaharu plus jeniuslah kuncinya.
Tetapi, dari mana kita memperbaharui keislaman? Dari tafsir terhadap Alquran. Sebab, Alquran adalah jantung dan jalan hidup kita pasca meninggalnya Muhammad. Tanpa memperbaharui tafsir kita terhadap Alquran, gagal kita menjadi ummatnya. Itulah tesis terbesar Syahrur.
Karena landasan pemikiran yang seperti itulah, karya-karyanya berputar di antara teks dan konteksnya. Ada lima karya utamanya yang bisa kita telaah: 1) Al Kitab wal Qur’an: Qiraah Mu’ashirah; 2) Dirasat Islamiyah Mu’ashirah fi al Daulah wa al Mujtama’; 3) Al Iman wa al Islam: Manzumat al Qiyam; 4) Nahwa Ushul Jadidiah lil Fiqh al Islami: Fiqh al Mar’ah; 5) Masyru’ Mitsaq al ‘amal al Islami. Semua diketik dalam bahasa Arab.
Siapa tokoh kita ini? Ia bernama lengkap Muhammad Syahrur al-Dayyub. Lahir pada tanggal 11 April 1938 M di Damaskus, Suriah. Profesinya dosen dan pemikir bebas yang canggih. Proyeksi dan apresiasinya pada warisan pemikiran masa lalu sangat kritis.
Mengapa mesti keislaman kita diperbaharui? Tanya Syahrur suatu kali. “Karena semua yang hidup pasti mati tetapi yang hidup belum tentu benar-benar hidup. Sedangkan ummat kini hidup tapi mati dan mati tetapi masih hidup,” demikian Syahrur menjawab sendiri pertanyaan itu.
Ummat yang tak hidup dan tak mati ini adalah produk dari kegagalan ilmu dan pengetahuan lama. Ilmu dan ilmuwan lama sudah gagal dan berhenti untuk menghadirkan ummat yang dahsyat. Padahal, tak ada kemerdekaan tanpa perjuangan. Tak ada kesejahteraan tanpa perlawanan. Tak ada kebahagiaan tanpa ilmu pengetahuan.
Menurut Syahrur, produk-produk pemikiran, tafsir, filsafat, hukum, ekonomi, tekhnik, industri, perang dan politik ummat yang sekarang sudah tidak relevan lagi dengan tuntutan modernitas. Karena itu diperlukan reformulasi serius terhadapnya.
Bagaimana mereformulasinya? Syahrur menjawab dengan menghidupkan tafsir baru (hermeneutika) yang menggunakan tiga kunci dasar: Pertama, kainunah (kondisi berada). Kedua, sairurah (kondisi berproses). Ketiga shairuurah (kondisi menjadi).
Ketiga kunci dasar tersebut akan selalu saling terkait dan merupakan starting point dalam kajian apapun. Singkatnya, seluruh proses hermeneutik itu berangkat dari yang ada, proses dialektikanya, hasil dari pergulatannya. Ketiganya menghasilkan perjalanan yang terus menerus tanpa putus.
Tetapi, karena Syahrur masih “islam” yang percaya pada “hukum Tuhan” maka tawaran pembaharuannya masih menyisakan “tangan Tuhan” dalam semua persoalan. Di sini, ia menawarkan teori pembatasan (limit). Yaitu batas ketentuan maksimum (al hadd al a’la) dan batas ketentuan minimum (al-hadd al-adna).
Itu semua bermakna bahwa hukum-hukum Allah bersifat menzaman. Wilayah ijtihad manusia tetap ada selama berada di antara batas minimum dan batas maksimum.
Dengan teori limit ini, ayat-ayat hukum yang selama ini dianggap final dan pasti, akan memiliki kemungkinan untuk ditafsirkan kembali secara baru. Termasuk melalui pendekatan matematis dan arkeologis.
Dengan teori limit ini, mufassir akan mampu menjaga sakralitas teks tanpa harus kehilangan kreatifitasnya guna melakukan ijtihad membuka kemungkinan interpretasi baru.
Singkatnya bagi Syahrur, islam itu teks. Muslim itu Alquran. Peradaban islam itu, teks, konteks, akal dan iman. Semua berdialektika. Nalar dan metoda baru menjadi tumpuannya. Tanpa itu, jangan harap jadi juara.(*)