Oleh Yudhie Haryono
Berbekal ilmu filologi, riset serius serta ditambah buku-buku klasik Cina, Portugis, Arab, serta yang paling penting adalah kitab-kitab babad Nusantara, penulis Irawan Djoko Nugroho berhipotesa bahwa Kerajaan Majapahit adalah negara maritim dan terkaya di Asia Tenggara karena mempunyai jumlah perahu dan kapal terbesar di dunia!
Kita tahu, kerajaan Majapahit didirikan pada tahun 1293 oleh Raden Wijaya, menantu Kertanegara, raja terakhir Kerajaan Singasari. Puncak kesuksesan kerajaan itu pada masa pemerintahan Hayam Wuruk, yang memerintah dari tahun 1350-1389.
Pada zaman jayanya, Majapahit merupakan pemilik tekhnologi perahu, pentradisi ilmu falaq, penguasa perdagangan antar pulau, pembentuk jalur rempah sehingga warganya kaya raya, bahkan kuli pelabuhan gajinya sangat tinggi. Perbandingannya ialah, bekerja di pelabuhan seminggu sudah cukup untuk hidup sebulan. Bandingkan dengan gaji buruh sekarang, di mana gaji sebulan hanya cukup untuk hidup seminggu.
Cara kerja elite Majapahit itu keren. Yaitu sadar lautan. Laut dan sungai jadi kawan dan sarana. Lahirlah kota-kota pelabuhan yang menjadi pusat-pusat perdagangan dan peradaban. Misalnya kota Canggu, Surabaya, Gresik, Sidayu, Pasuruhan, Tuban dan Jepara yang ramai dikunjungi para pedagang dari Nusantara, Tiongkok dan Arab. Lalu, akhirnya sekitar tahun 1500 datang pula orang-orang Eropa ke Nusantara. Potensi dan eksploitasi lautlah kuncinya. Satu kunci yang kini kita tenggelamkan lewat amok perut dan kelamin serta lendir yang tumpah ruah. Menghasilkan rezim anti intelektual dan jijik iptek.
Para sejarawan sering bertanya, “sebegitu heroik kisahnya, kenapa kita tak mewarisi artefak fakta yang bisa mewakili kehadirannya?” Dari telusur teks maka jawabannya bisa kita temukan bahwa kita tak menemukan sisa adekuat karena lima hal: 1) Keruntuhan karena konflik internal yang merembet pada dis-state, 2) Kehadiran sejumlah disaster yang menghancurkan dan menenggelamkan, 3) Munculnya kompetitor baru, baik internal maupun eksternal, 4) Amoralisme yang menihilkan rasa memiliki, dan 5) Regrouping and repositioning seperti separatisme dan kolonialisme.
Dengan menguasai tekhnologi maritim, kerajaan ini meluas dari Jawa ke Sumatera, Semenanjung Malaya, Kalimantan, Sulawesi, Kepulauan Nusa Tenggara, Maluku, Papua, Tumasik (Singapura), dan sebagian Kepulauan Filipina. Selain itu, kerajaan ini juga menjalin relasi dengan Campa, Kamboja, Siam, Birma bagian selatan, Vietnam dan China. Tentu saja, luasnya wilayah menjelaskan kuatnya armada. Sementara luasnya relasi menjelaskan kekayaannya.
Kini tinggal nama. Dan, kita sebagai ahli warisnyapun abai serta tak merujuknya dengan ceria. Ia memang diceritakan dan menjadi inspirasi pendirian Indonesia. Ia memang bersemayam di hati. Tapi apinya telah redup, seredup-redupnya. Karena itu, buku ini ditulis agar kita bisa dipetik dan belajar tentang sejarahnya yang mengisahkan sikap keteguhan hati atau jiwa bersungguh-sungguh pada sebuah keinginan agar membuahkan hasil yang diinginkan.
Diawali dengan niat yang kokoh, pengetahuan yang luas, kurikulum iptek, tahu jati diri, hadirkan geopolitik, geoekonomi, armada yang gagah, mental pemenang, sadar maritim dan hitung ATHG (ancaman, tantangan, hambatan, gangguan) sebagaimana tekad Sumpah Palapa untuk mempersatukan nusantara, maka spirit itu yang akan merayakan dan menjayakan Indonesia.
Dari api Majapahit, para pendiri republik Indonesia belajar dan sangat sadar akan besar dan beratnya tantangan menegakkan kesatuan bangsa dan negara di atas hamparan kemajemukan sosial-budaya Nusantara. Lautan, daratan, ribuan pulau, ratusan suku, ribuan bahasa dan agama serta kekayaan yang luarbiasa itu potensi sekaligus ancaman.
Salah satu terobosan Bung Karno dari pelajaran Majapahit adalah dengan melahirkan konsep suku-bangsa. Suku yang berada dalam ranah sosial-budaya digandengkan dengan konsep bangsa dalam ranah politik. Artinya, Indonesia adalah negara-bangsa yang berdiri sebagai negara kebangsaan. Bangsa-bangsa yang membentuk negara. Lalu, negara ini menghibridasi bangsa dengan bangunan kekeluargaan kolegial koperasi. Maju bersama, adil bersama, sentosa sampai selamanya.
Dengan konsep kebangsaan artinya yang satu hanya berarti bila ada yang lain dalam hubungan fungsional yang menopang dan mengukuhkan: bersatu yang bergotong royong. Artinya, setiap kita ialah warga bangsa dan warga negara Indonesia tanpa harus menanggalkan identitas primordial suku, ras dan agama. Sayangnya kini yang terjadi “gotong nyolong” secara masif, sistemik dan berkelanjutan.
Buku ini judul lengkapnya sangat panjang, yaitu Majapahit: Peradaban Maritim Ketika Nusantara Menjadi Pengendali Pelabuhan Dunia. Penulisnya Irawan Djoko Nugroho. Diterbitkan oleh Yayasan Suluh Nuswantara Bakti, Jakarta tahun 2011. Sebuah buku yang layak baca, dikolekasi dan perlu ditelaah kita semua.(*)