Oleh M Yudhie Haryono
Aku muridnya. Tentu saja murid yang paling bodoh. Murid yang tak diakuinya. Murid yang sulit memahami tulisan dan pikiran-pikiran jeniusnya. Padahal, sang guru sudah membahasakan hal-hal sulit dengan bahasa umum agar renyah dan mudah dipahami. Mungkin karena tema-temanya yang perenialis dan enigmatis sehingga sulit tercerna. Mungkin saja.
Ya. Beberapa tema favoritnya adalah agama, psikologi dan peradaban. Semua tema perenial dan memerlukan seribu cara dan semilyar waktu agar tumbuh pemahaman yang paripurna. Di tema-tema itu, tak kutemukan orang sejenius Guru Komarudin Hidayat dalam membahasnya.
Menurutnya, “agama merupakan elemen penting yang melahirkan peradaban sekaligus menjadi pilar utama penyangganya. Hampir tak ada peradaban besar di dunia lepas dari peran dan pengaruh agama. Dus, agama itu menjadi sumber inspirasi, fondasi, nilai, maupun etos yang menjaga keberlangsungan peradaban.”
Saat bersamaan, tak dipungkiri bahwa agama juga kerap menjadi sumber malapetaka yang menghancurkan peradaban. Di sini, agama kehilangan substansinya sebagai kekuatan moral, intelektual, sosial dan etik karena terbawa arus dan terjebak dalam kepentingan praktis komunal dan sektarian.
Yup. Kisah agama memang kisah tua. Hidup, mati dan dihidupkan beribu kali oleh ragam agensi. Ia bernyawa setrilyun sehingga mati di sini, bisa bangkit di sana. Bisa bertukar nasib dan mampu bermetamorfosa. Ada banyak nama walau bersumber dari yang satu.
Kisahnya di kita juga lucu bin wagu. Di republik selokan, duit rakyat dikutil oleh pejabat berpaham marhaen (parte wong cilik yang licik). Kejahatan ini melengkapi secara meyakinkan bahwa agama bangsa ini sesungguhnya KKN: bukan islam, kristen, budha, hindu, maupun konghucu. Agama korupsi adalah agama tai: tapi ditelan tiap hari.
Melalui buku ini, Komaruddin Hidayat meletakkan fungsi dan peran agama di tempat yang selayaknya, sekaligus meresapkan nilai-nilai dan etos agama dalam wacana sosial, politik dan pendidikan mutakhir. Agama dibumikan menjadi daya penggerak, pendorong dan elan vital kemajuan. Harapannya, agama dapat tetap menjadi suluh bagi peradaban.
Dengan argumen bernas dan mengalir, guyon yang rileks tetapi mendalam dan berbobot, serta menyorot tema-tema aktual dan kontekstual, buku yang merupakan kumpulan esai-esai kritis nan luas ini sangat menggugah hati dan mencerahkan pikiran pembaca.
Tentu sambil menonton bahwa korban terburuk dan terkasih dari oligarki hari-hari ini adalah para agamawan. Mereka merestui kejahatan oligarki dengan firman, barisan, fatwa dan proposal pengemisan. Agama dan agensinya harus menghentikan oligarki, tetapi yang terjadi justru sebaliknya.
Ahmad Syafii Maarif, Ketua Umum PP Muhammadiyah (1998-2005) berkomentar soal buku ini dengan menulis, “membaca karya Komaruddin Hidayat ini dengan bahasa yang mengalir dan hidup, rasanya batin saya semakin diperkaya dan dicerahkan oleh diksi-diksi impresif yang bertebaran dalam karyanya.”
Buku ini berjudul, “Agama Untuk Peradaban: Membumikan Etos Agama Dalam Kehidupan.” Terbit oleh penerbit keren Alvabet. Dicetak pertama kali pada April 2019, berukuran 15 x 23 cm. Buku ini lumayan tebal karena setebal 366 halaman dan seberat 500 gram. ISBN-nya bernomor 978-623-220-036-4.
Bagi kalian peminat kajian agama, isu-isu peradaban dan etika publik, buku ini wajib jadi bahan rujukan. Siapa minat, bisa beli ke saya dan dialogkan isinya. Syukur-syukur mau menulis lanjutannya.(*)