Oleh Yudhie Haryono
Mental yang hilang. Karakter yang lemah. Aturan yang cacat. Nilai-nilai yang berubah. Terjangan kolonialisme baru. Konstitusi yang berkhianat. Itulah enam problema pokok ekonomi-politik kita hari ini.
Menyikapi hal tersebut, kami mencoba bertemu dan mencari terobosan. Lewat diskusi terbatas (FGD) dengan para cendekiawan, kita menemukan sembilan usulan: Pertama, peserta FGD menyadari telah terjadi krisis kenegaraan dikarenakan krisis konstitusi dan krisis kepemimpinan. Ini adalah dampak dari amandemen yang kebablasan serta kurang cermat dalam menggali nilai-nilai keindonesiaan. Hilirnya, konstitusi dan kepemimpinan kita membusuk.
Kedua, agar tidak terus busuk, peserta FGD sepakat untuk berjuang kembali ke UUD45 yang asli dengan dua metoda: Pertama, mendorong praktek dekrit presiden terkordinasi dan; Kedua, lewat SI MPR(s)/Sidang Istimewa. Dua narasi itu lahir karena kami melihat tak ada jalan lain serta kami mencintai republik dan warisan pemikiran para pendirinya.
Ketiga, peserta FGD menyadari bahwa “siapapun yang berusaha menghapus warisan suatu bangsa, ia telah membubarkan negara.” Tentu itu tindakan yang harus dihentikan segera. Tanpa usaha sungguh-sungguh menikam mati persis di jantung musuh negara, celakalah kita semua.
Keempat, peserta FGD akan terus mendiskusikan dan menarasikan kembali postur politik majelis yang menempatkan MPR sebagai lembaga tertinggi negara. Lembaga kedaulatan ini punya tiga cluster: utusan golongan, utusan daerah dan utusan parpol. Ini adalah arsitektur politik khas Indonesia yang mampu memastikan kedaulatan rakyat dan melahirkan pemimpin jenius penemu solusi serta pemberi berkah.
Dengan begitu, MPR menjadi institusi penjelmaan seluruh rakyat di mana kedaulatan rakyat merupakan inti penjelmaan yang diwujudkan dari adanya tiga unsur: (1)Anggota-anggota DPR; (2)Utusan daerah; dan (3)Utusan golongan. Olehnya MPR tak bisa dan tidak boleh disekat-sekat ke dalam kamar-kamar seperti dalam parlemen.
Sebab, parlemen itu institusi perwakilan politik, di mana rakyat hanya menyerahkan aspirasi politiknya kepada wakil-wakilnya melalui ragam model perwakilan politik, seperti model delegasi, model wali, atau model persamaan.
Itulah kelebihan dan kehebatan arsitektur MPR kita, karena desain kedaulatan rakyat selain dijalankan sendiri langsung oleh rakyat, juga rakyat berdaulat tampak dari kewenangannya yang dapat mengubah-menetapkan konstitusi dan menyusun GBHN, serta mengangkat dan memberhentikan presiden.
Kelima, peserta mengusulkan bahwa yang menjadi utusan golongan bisa dikenali dari lima hal: Pertama, berdasarkan profesi: buruh, petani, nelayan, pers, dokter, TNI dan Polri serta yang disepakati kemudian. Kedua, berdasarkan kecerdasan: guru, dosen, cendekiawan dll. Ketiga, berdasarkan umur: kepemudaan, lansia, remaja, dll. Keempat, berdasarkan keagamaan/kepercayaan: kyai, pastur, bikku, rohaniawan, bante, dll. Kelima, berdasarkan sebaran: wilayah terluar, pedalaman, pulau terpencil, dll.
Keenam, peserta FGD mengusulkan bahwa utusan daerah itu bisa dikenali dari dua hal: Pertama, berdasarkan teritorial: raja, ratu, kepala suku, ketua adat. Kedua, berdasarkan representasi daerah: gubernur, bupati/walikota, camat dan lurah/kepala desa.
Ketujuh, peserta FGD mengusulkan bahwa mekanisme pemilihan utusan golongan dan daerah untuk duduk di MPRRI dilakukan di komunitas masing-masing dengan tata cara berdasar adat istiadat mereka serta nantinya dilantik oleh presiden (selaku kepala negara).
Kedelapan, peserta sudah membuat jaringan antar berbagai kelompok dan membuat pernyataan sikap bersama yang ditandatangi dan dikirimkan ke Presiden, MPRRI, DPRRI, DPDRI serta partai-partai politik yang hari ini sangat menentukan perjalanan ekopol kita semua.
Kesembilan, peserta FGD juga mengusulkan agar ditetapkan kriteria dan persyaratan dari kandidat utusan daerah dan utusan golongan terkait watak dan karakter, moralitas dan mentalitas serta jati diri yang bersih, jujur dan amanah.
Kandidat harus tahu dengan seksama apa kebutuhan rakyat di daerahnya untuk mewujudkan kesejahteraan rakyat, prioritas, aspek dan bidang yang harus diberdayakan sebagai unggulan kegiatan. Kandidat harus dikenal luas oleh masyarakat dalam karya dan kinerja yang bermanfaat bagi mereka.
Kandidat harus memiliki profesionalisme, kecerdasan wawasan, dapat bekerja keras dan bekerja sama secara sinergi dengan berbagai pihak sebagai mitra berkegiatan. Kandidat harus tetap sederhana dalam sikap dan penampilan serta peka terhadap kebutuhan rakyat di daerahnya.
Terakhir, semua kandidat harus vokal menyuarakan aspirasi rakyat terutama berkaitan dengan perencanaan stratejik buat daerahnya dan disesuaikan dengan kebijakan politik negara yang telah disusun dalam cita-cita plus janji proklamasi.(*)