Oleh Yudhie Haryono
Sudah. Cukup sudah. Putar balik. Cari yang dilupakan. Apa itu? Berkah Tuhan. Pemimpin pancasilais. Pemimpin bermental spiritual. Komunitas yang crank dan menyempal. Tak hirau tahta, harta dan wanita. Pemimpin yang fokus wakaf jiwa raga buat rakyat miskin dan paria.
Pemimpin yang satunya laku, kata dan nalarnya. Sidik, amanah, fatanah dan tabligh. Pemimpin yang meneladani teladan-teladan dunia. Sebab, bila tidak menjadi teladan dan pelindung seluruh tumpah darah, tanah, udara dan air republik, percuma menjadi manusia. Jika tidak berbakti pada orang tua, percuma menyembah Tuhan. Jika dengan saudara sendiri tidak rukun, percuma menjalin persahabatan dengan sesama.
Jika hati penuh pikiran jahat khianat, percuma saja nyantri dan puasa. Jika tindak tanduknya tanpa tata krama suka menyakiti orang lain, percuma banyak gelar honoris causa. Jika bersifat angkuh dan tipsani alis tipu sana tipu sini, percuma saja menjadi seorang presiden yang katanya marhenis dan merakyat, militeris dan disiplin.
Jika seenaknya sendiri dalam melakukan segala sesuatu, ilham pun percuma karena tidak menjadikannya bijaksana. Jika belum tiba saatnya diberi Tuhan, berkolusi dengan setan sekalipun juga sia-sia. Jika tidak mau menghargai kesehatan, percuma minum obat dan olahraga.
Jika sembarangan mengambil harta dan hak orang lain, percuma saja berderma, zakat dan berbagi. Jika suka mengumbar hawa nafsu, percuma saja berbuat kebajikan yang berakiblat munafik dan sombong.
Maka, jalan spiritual adalah jalan nalar yang bergelombang. Menuntun kita semua menjawab tanggungjawab kemanusiaan semesta. Mentalitas spiritual membedakannya dari pemimpin hari ini yang beragama KKN di mana saja.
Kepemimpinan spiritual adalah kepemimpinan yang mampu mengilhami, membangkitkan, mempengaruhi dan menggerakkan melalui keteladanan, pelayanan, kasih sayang dan implementasi nilai-nilai dan sifat-sifat ketuhanan lainnya dalam tujuan, proses budaya dan perilaku kepemimpinan sehingga bangsa dan negaranya selamat, makmur, adil, sentosa sesuai cita-cita proklamasinya.
Kita segera bangkitkan antitesa “kepemimpinan uang” yang hari ini sedang berkuasa dengan kepemimpinan berjiwa spiritual yang pada dasarnya memiliki karakter kejujuran sejati, fairness, fokus pada amal saleh, membenci formalitas dan blusukan plus sok sederhana, bekerja lebih efisien dengan sedikit bicara dan lebih santai, keterbukaan menerima perubahan, pemimpin yang dicintai dan tentu mencintai yang dipimpinnya serta memiliki karakter pancasilais sambil berperilaku konstitusionalis.
Mereka harus jadi pemimpin yang memiliki kecerdasan spiritual, yang pada gilirannya membawa nilai-nilai spiritualitas dalam kepemimpinannya. Dengan demikian presiden yang cerdas secara spiritual akan dapat memanusiakan manusia, menciptakan perubahan yang positif baik negaranya maupun komunitas internasional lainnya.
Dus, padanya melekat kecerdasan spiritual tinggi yang memiliki karakteristik kesadaran diri, mengetahui apa yang menjadi nilai dalam hidupnya, apa yang ia percayai, dan apa yang memotivasinya.
Ia juga mampu mengatasi masalah sesuai prinsip dan keyakinan yang dipegangnya; menghargai keberagaman serta menolak untuk melakukan kekerasan pada orang lain; Merasa butuh memahami akar persoalan dan memiliki kecenderungan untuk mengajukan pertanyaan dasar; Mampu menyadari hubungan antara objek dan berbagai fenomena yang sedang terjadi; Mampu memiliki dan berpegang teguh pada keyakinan sendiri yang mungkin berbeda dari kebanyakan orang; Memiliki respons dan manajemen stres yang lebih baik sehingga tidak gugup, galau serta tidak ngawur.
Pada proses dan ijtihad tema itulah kita bergerak dan berjihad. Menaklukan satu demi satu rintangan yang menghadang. Demi, dari, oleh dan untuk Indonesia Raya yang menyemesta, menjadi mercusuar dunia. Bukan bangsa babu seperti hari ini. Semoga.(*)