Oleh Dr. Wahyu Nugroho, SH. MH (Peneliti Jimly School of Law and Government/Dosen FH Usahid)
Dapat kita akui bahwa putusan-putusan MK dalam pengujian undang-undang berimplikasi secara langsung terhadap politik hukum pembentukan legislasi nasional, sehingga menunjukkan adanya relasi yang kuat antara MK dengan DPR dan Presiden (Pemerintah).
Beberapa perkembangan terakhir dapat diamati bahwa MK telah mengalami pergeseran dari negatif legislator menuju positif legislator, termasuk kebijakan hukum terbuka (open legal policy), yang tidak lepas dari pengaruh cara pandang (paradigma) dalam ilmu hukum dan penafsiran hukum (konstitusi) hakim konstitusi dalam memeriksa perkara pengujian undang-undang.
Saya katakan perorangan hakim konstitusi, bukan kelembagaan karena ada ruang diskursus untuk memposisikan dirinya melakukan dissenting opinion, meskipun suara mayoritas (sekalipun selisih 1 suara) yang kemudian menjadi produk putusan final dan mengikat.
Cara pandang hakim konstitusi tidak dapat dilepaskan dari pengaruh paradigma berfikir keilmuan hukum dan konstitusi, penafsiran-penafsiran hukum dan konstitusi, hukum yang hidup dalam masyarakat (living law), serta pertimbangan sosiologis yang mewarnai di dalam pertimbangannya (ratio decidendi). Meskipun cara pandang bersifat perorangan, namun akan menjadi pertaruhan kelembagaan menyangkut konsistensi MK dalam memahami apakah undang-undang tersebut merupakan open legal policy (bukan problem konstitusionalitas norma undang-undang) atau terdapat masalah dalam konstitusionalitas norma.
Selama ini istilah policy atau kebijakan lebih populer dalam bidang studi kebijakan publik, antara lain dalam istilah Communitarian (kebijakan masyarakat), Public Policy (kebijakan publik), dan Social Policy (kebijakan sosial).
Di bidang ilmu kebijakan publik, istilah kebijakan (Policy) sudah mengandung makna bebas atau terbuka (open), karena pada dasarnya makna kebijakan selalu merujuk pada keleluasaan pejabat/pihak yang berwenang untuk melakukan hal-hal tertentu yang pelaksanaannya tidak atau belum diatur secara jelas oleh peraturan perundang-undangan. Hal demikian berbeda dengan pengertian terbuka (open) di bidang pembentukan hukum (dalam sistem hukum nasional).
Mahkamah Konstitusi selalu dalam putusan yang berkaitan dengan open legal policy dalam putusannya menyatakan menolak perkara karena tidak beralasan menurut hukum. Dapat dilihat dalam putusan Mahkamah Konstitusi menolak pengujian undang-undang karena alasan open legal policy, khususnya terhadap hal-hal yang menyangkut kepentingan politik, partai politik, dan penyelenggaraan pemilu. Misalnya terkait dengan pengujian presidential threshold.
Mahkamah Konstitusi dalam pertimbangannya, telah merumuskan kebijakan hukum terbuka (open legal policy), diantara putusan yang dapat dijadikan acuan yaitu putusan MK Nomor 52/PUU-XX/2022, bahwa sebuah ketentuan dapat disebut sebagai open legal policy apabila memenuhi syarat sebagai berikut: (1) norma tersebut tidak dirumuskan secara tegas (expressis verbis) dalam UUD 1945; atau (2) norma tersebut didelegasikan untuk diatur lebih lanjut dalam undang-undang.
Konsep open legal policy putusan MK Nomor 114/PUU-XX/2022 dalam perkara pengujian undang-undang pemilu terkait sistem pemilu, dengan menggunakan metode tafsir original intent dan sistematis terkait sistem pemilu secara terbuka bahwa: (1) norma perintah eksplisit konstitusi; (2) norma perintah implisit konstitusi; dan (3) norma yang tercipta/terkondisi akibat penerapan dua norma lainnya (mengakibatkan open legal policy).
Putusan MK Nomor 112/PUU-XX/2022 dalam pengujian undang-undang KPK perubahan kedua yang diajukan oleh salah seorang pimpinan KPK, menjadi pertaruhan konsistensi kelembagaan dalam memahami open legal policy, semakin ditunjukkan kedudukannya sebagai positif legislator, meskipun dapat diketahui cara pandang melalui berbagai penafsiran hukum (konstitusi) dalam pertimbangan (ratio decidendi) dan perbedaan pendapat (dissenting opinion).
Putusan yang terdapat dissenting opinion adalah putusan yang menarik untuk dikaji kembali secara akademis dan filosofis dengan berbagai penafsiran hukum maupun konstitusi yang digunakan. Dua point yang dipermasalahkan pemohon dalam perkara ini adalah syarat minimal usia dan masa jabatan pimpinan KPK.
Keempat hakim yang menyatakan perbedaan pendapat (dissenting opinion) menilai Putusan tersebut merupakan open legal policy dan tidak ada permasalahan konstitusionalitas norma. Dalam kaitannya dengan tafsir open legal policy, antara putusan MK yang satu dengan putusan yang lainnya justru menyebabkan multitafsir dan ambigu. Justru MK yang menciptakan konsep atau rumusan pengecualian open legal policy kemudian menjadi perangkap MK sendiri dalam memahami apakah norma undang-undang tersebut ada problem konstitusional atau bagian dari unsur pengecualian open legal policy.
Permasalahan lain dalam Putusan ini berkaitan dengan masa keberlakuan, yang justru Pemerintah (Presiden) dibuat galau, meskipun sejak dibacakan bersifat final dan mengikat, namun menyebabkan penafsiran ganda apakah berlaku surut atau tidak pasca putusan ini. Apakah penafsiran syarat minimal usia dengan penambahan norma telah berpengalaman mejadi pimpinan KPK dan perpanjangan masa jabatan pimpinan KPK secara otomatis dapat diberlakukan untuk periode saat ini, atau menunggu pada periode yang akan datang? Hal inilah menimbulkan dilema Pemerintah, yang pengangkatan pimpinan KPK melalui Keputusan Presiden.
Ambiguitas Putusan MK tersebut berpangkal konsepsi pengecualian yang dirumuskannya sendiri dalam pengujian undang-undang yang bersifat open legal policy. Konsep pengecualian open legal policy yang dirumuskan ialah: prinsip kebijakan hukum terbuka (open legal policy) dapat dikesampingkan apabila bertentangan dengan moralitas, rasionalitas, dan menimbulkan ketidakadilan yang intolerable, merupakan penyalahgunaan wewenang (detournement de pouvoir), atau dilakukan secara sewenang-wenang (willekeur) dan melampaui kewenangan pembentuk undang-undang.
Penulis berpendapat bahwa tidak adanya sebuah standar atau ukuran-ukuran dari masing-masing unsur pengecualian tersebut, menyebabkan subjektivitas dan cara pandang hakim yang sangat beragam menafsirkannya.
Apa ukuran perlakuan yang tidak adil (injustice) yang seharusnya diperlakukan sama sesuai dengan prinsip keadilan (justice principle)Â terhadap objek perkara yang dipermasalahkan terkait syarat minimal usia dan masa jabatan pimpinan KPK? Apakah ketika diperlakukan sama, kemudian dianggap adil, atau ketidakadilan itu muncul karena tidak diberlakukan sama dengan yang lainnya? Bagaimana relasi antara masa jabatan pimpinan KPK dengan kinerja secara kelembagaan internal KPK, tanpa membandingkan dengan lembaga lainnya? Bukankah secara kelembagaan memiliki perbedaan karakter dengan lembaga lainnya?
Hal inilah diperlukan evaluasi-evaluasi, capaian kinerja, dan penilaian-penilaian secara internal dengan ditopang instrumen metode penelitian yang valid, sehingga terukur dan pasti, baru kemudian terdapat sebuah kesimpulan bahwa ada keterkaitan dan permasalahan antara usia, masa jabatan pimpinan KPK dengan kinerja, bukan didasarkan atas pertimbangan-pertimbangan secara individual.
Rumusan open legal policy yang dibuat oleh MK pada akhirnya menimbulkan ambiguitas dan multitafsir, bahkan dikalangan hakim konstitusi sendiri melalui berbagai dissenting opinion. Hal ini ditunjukkan berkaitan dengan usia dapat secara faktual dan spesifik telah menimbulkan masalah konstitusionalitas sebagaimana ditegaskan dalam perkara MK Nomor 7/PUU-XI/2013 dalam pengujian UU MK bahwa perubahan ketentuan usia dapat menimbulkan problematika kelembagaan, (tidak dapat dilaksanakan dan menyebabkan kebuntuan hukum (dead lock), menghambat pelaksanaan kinerja lembaga negara tersebut, dan/atau menimbulkan kerugian konstitusionalitas warga negara.
Putusan tersebut juga terjadi dissenting opinion. Menurut penulis, untuk bisa menghubungkan antara permasalahan syarat usia dengan efek yang ditimbulkan, perlu ada ukuran-ukuran kinerja dan penilaian yang dilakukan oleh lembaga/institusi sendiri secara internal, maupun penelitian-penelitian yang dilakukan baik internal maupun pihak lain terkait kinerja sebuah kelembagaan, sehingga dapat terukur sasaran capaiannya dengan alat ukur yang pasti. Hasil kajian/penelitian dan ukuran kinerja tersebut dapat juga menjadi bahan masukan dan evaluasi kepada pembentuk undang-undang untuk merumuskannya kembali dalam politik hukum pembentukan undang-undang melalui legislative review.
Masihkah ingatkah Ketika MK memutuskan dalam perkara Pengujian Kitab Undang-Undang Hukum Pidana melalui Putusan MK Nomor 46/PUU-XIV/2016 berkaitan dengan pidana bagi kaum LGBT dan kumpul kebo, dengan amar putusan menolak, terjadi dissenting opinion 4 hakim? Putusan tersebut dalam pertimbangannya mengacu pada Putusan sebelumnya dalam perkara permohonan substansi yang serupa melalui Putusan MK Nomor 132/PUU-XIII/2015, dengan amar putusan menolak, tanpa terjadi dissenting opinion.
Dikutip dalam pertimbangan kedua putusan tersebut bahwa pembuat kebijakan kriminal negara ini adalah pembentuk undang-undang (DPR bersama Pemerintah). Secara doktriner, pembentukan MK dimaksudkan untuk memiliki kewenangan sebagai negative legislator. Artinya mahkamah konstitusi hanya dapat membatalkan undang-undang dan tidak dapat mengambil kewenangan parlemen dalam membuat undang-undang.
Doktrin tersebut dimaksudkan untuk membedakan antara kewenangan DPR dengan kewenangan Mahkamah Konstitusi. Doktrin demikian pada saat ini telah diterima oleh para jurist sebagai pandangan yang berlaku sebagai hukum (opinion jurist sive necessitatis). Dengan demikian, jelas bahwa pada dasarnya MK dalam pengujian undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar adalah sebagai negative legislator. Posisi tersebut sebenarnya sudah jelas dari masing-masing kewenangan dan hubungan antar lembaga.
Oleh karena itu, diperlukan kajian ulang dalam pemaknaan open legal policy atas pengujian undang-undang secara seragam dan diperlukan adanya konsistensi putusan terkait open legal policy, tanpa adanya rumusan pengecualian-pengecualian open legal policy yang justru menjebak MK sendiri dan yang sangat subjektif penilaiannya berdasarkan cara pandang maupun tafsir yang sangat beragam, baik hakim konstitusi sendiri maupun masyarakat.
Pada akhirnya cara pandang hakim konstitusi mempengaruhi secara kelembagaan atas mahkota peradilan konstitusi yang dapat dihormati oleh semua pihak dan mencerminkan keadilan substantif. Ruang-ruang diskursus melalui dissenting opinion maupun concurring opinion dan judge made law yang berlaku pada tradisi anglo saxon tidak dapat terhindarkan dalam dinamika putusan-putusan MK.(*)