Oleh R Virine Tresna Sundari – Peserta Program KKK Nusantara Centre
Bagaimanakah tafsir ketuhanan yang maha esa dalam Pancasila? Tulisan ini mencoba membawa pemahaman Pancasila dari sudut yang sedikit berbeda dari pandangan atau pemahaman umum saat ini. Karena ini tafsir maka diskusi lebih diutamakan daripada perdebatan dan pengadilan yang tak perlu.
Seperti kita ketahui, saat ini Pancasila sudah hampir ditinggalkan dalam kehidupan masyarakat Indonesia sehari-hari. Adalah suatu kenyataan bahwa kebanyakan anak-anak saat ini sudah tidak mengenal lagi Pancasila. Kalimat dalam Pancasila hanya menjadi hafalan dari pelajaran di sekolah yang tidak memiliki arti di kehidupan sehari-hari.
Lebih ironis lagi di generasi sebelumnya yang dahulu masih mengalami penataran pancasila (P4) di sekolah-sekolah di masa lalu pun, sudah melupakan jiwanya. Buktinya, korupsi (KKN) merajalela, identitas fundamentalisme keagamaan semakin menonjol, toleransi makin berkurang, bahkan nilai-nilai kemanusiaan pun semakin tergerus dengan makin banyaknya kejahatan yang kadang dilakukan di luar nalar manusia.
Untuk melihat lebih jelas betapa generasi muda sudah “tidak terlalu peduli dengan pancasila, kit abaca data survey yang baru-baru ini dilakukan oleh Setara Institute for Democracy and Peace tentang Toleransi Siswa Sekolah Menengah Atas (SMA). Survey ini dilakukan di 5 kota besar di Indonesia. Laporan ini bertanggal 17 Mei 2023. Data ini diambil karena ini merefleksikan kepedulian kita semua atas masih banyaknya tindakan intoleransi di kalangan siswa SMA yang notabene merupakan generasi penerus yang merupakan agen perubahan bangsa.
Berikut beberapa temuan kunci dari hasil survey ini. Tentu ada yang positif dan ada yang memprihatinkan yang nantinya akan kita korelasikan dengan pemahaman Pancasila ini. Beberapa temuan kunci yang ada adalah, pada 12 pertanyaan kunci yang digunakan sebagai indikator toleransi siswa, penelitian ini menemukan kecenderungan yang positif pada hampir semua pertanyaan. Tingginya penerimaan perbedaan keyakinan (99.3%), penerimaan perbedaan ras dan etnis (99.6%), empati terhadap kelompok yang berbeda agama/keyakinan (98.5), dukungan pada kesetaraan jender (93.8%) dalam kepemimpinan OSIS adalah tren yang sangat positif di kalangan pelajar. Dengan kata lain, praktik intoleransi di sejumlah sekolah
sesungguhnya tidak memperoleh dukungan signifikan dari para siswa di area penelitian ini.
Namun, jika diuji dengan pertanyaan-pertanyaan yang lebih ideologis, maka hasilnya
kecenderungan toleransi semakin menurun. Menjawab pertanyaan apakah akan m
enahan diri melakukan kekerasan dalam merespons penghinaan terhadap agama yang dianut, 20.2% responden menyatakan tidak bisa menahan diri.
Sekalipun angka yang bisa menahan diri masih cukup besar di 79.8%, tetap saja ini mengkhawatirkan. Demikian juga terkait persepsi tentang Barat. Sebanyak 51.8% responden menyatakan setuju bahwa negara Barat seperti Amerika, Inggris dan Australia dianggap sebagai ancaman terhadap agama dan budaya Indonesia.
Temuan terkait syariat Islam sebagai landasan bernegara, juga didukung oleh 56.3% responden. Yang lebih menggiriskan, dukungan terhadap persepsi bahwa Pancasila sebagai bukan ideologi yang permanen, artinya bisa diganti, juga sangat besar yakni 83.3% responden. Ini pasti karena pelajaran Pancasila sudah dihapuskan di sekolah formal, informal apalagi non-formal.
Melihat data di atas, sepertinya kita harus mengakui bahwa memang sudah terlalu lama Pancasila hilang dan kita hidup dalam sekat-sekat agama yang dogmatis. Sehingga pemahaman Pancasila pun tidak dilihat dari sisi esensi yang sebenarnya sangatlah luhur sesuai dengan budaya bangsa kita. Di sini letak kerja keras yang harus kita dalami.
Bila ingin memahami esensi yang tertuang dalam jiwa Pancasila, kita harus mundur ke belakang ke ratusan hingga ribuan tahun yang lalu ke jaman kejayaan peradaban nusantara jaman dahulu. Jauh sebelum bangsa Indonesia lahir pada tahun 1945, kita adalah Bangsa Nusantara yang memiliki peradaban luhur dan tinggi di mana masyarakatnya hidup dalam spiritualitas yang tinggi sehingga hidup dalam harmoni.
Jejak-jejaknya bisa dilihat selain dari seni budaya yang tinggi seperti batik, keris, subak dan tentunya peninggalan candi-candi megah yang merepresentasikan banyak hal separti kecanggihan teknologi, kesadaran artistisk, kesadaran stabilitas geo-ekopolitik, kesadaran spiritual yang tinggi di mana candi merupakan mandala sebagai pusat energi di bumi. Pastinya, Negara dan bangsa yang membangun candi sangat megah tersebut memiliki kestabilan ekonomi dan politik mengingat pembangunan candi dilakukan dalam jangka waktu yang sangat lama dan membutuhkan biaya yang tidak sedikit.
Jadi Pancasila bukan hanya dasar Negara (yang telah diacuhkan), tapi Pancasila merupakan jalan spiritual bagi Bangsa Indonesia. Kita perlu menyadari bahwa bangsa kita masih selamat karena ada kekuatan spiritual yang menjaga bangsa Indonesia. Dan, Pancasila itulah kulminasi dan hibridasi spiritualnya.
Ia juga jembatan untuk mengembalikan semangat dan kejayaan bangsa yang sesungguhnya sudah tertera dalam DNA kita sebagai bangsa besar dan berjaya. Dan, cara mengaktifasinya adalah dengan metoda “hening cipta.” Pikiran dan tindakan hening cipta yang dimaksud di sini bukanlah hening cipta yang biasa dilakukan satu menit saja sebelum melakukan upacara bendera. Namun, yang dimaksud ini adalah kehidupan di mana kita selalu hening/meditatif menyadari kesadaran nafas natural kita yang merupakan jembatan untuk menyadari kehadiran dan tuntunan Tuhan yang mempribadi dalam diri kita masing-masing.
Dengan selalu hening/meditatif ini, segala pikiran, ucapan dan tindakan kita selalu tertuntun oleh Gusti/Tuhan/Ilahi/Nur di dalam diri kita masing-masing. Di sinilah esensi dari Ketuhanan Yang Maha Esa yang mempribadi dalam diri, dalam pikiran, dalam ucapan, dalam tulisan, dan dalam tindakan kita masing-masing. Dengan begitu, manusia yang hening akan mustahil serakah, munafik dan KKN. Sebaliknya terus sakdermo, jujur, dan selalu lurus dalam kemanusiaan.(*)