Oleh Danil Akbar – Pengajar Program KKK Nusantara Centre
Manusia Pancasilais. Peradaban Pancasila. Mercusuar Dunia. Itulah tricita-cita kita semua. Maka, membangun peradaban pancasila pastilah imaginasi para founding fathers/mothers bangsa dan negara ini. Cita-cita yang harus direalisasikan oleh segenap generasi bangsa-negara sebagai estafet penerus pembangunan Indonesia yang seutuhnya. Satu pembangunan yang berdasarkan pada nilai-nilai Pancasilaisme.
Karenanya, mari kita wujudkan dan realisasikan Peradaban Pancasila dengan idealisme yang lahir dari kecerdasan intelektual, emosional dan spiritual bangsa ini. Mari kita nyalakan api Pancasila terus menerus. Bagaimana peta jalannya? Kutemuka ada dua.
Pertama, dengan menyadari bahwa kita adalah manusia, rakyat dan masyarakat spiritual. Sejak dahulu kala, bangsa ini dikenal sebagai bangsa spiritual. Bahkan karakteristik bangunan yang merupakan warisan leluhur bangsa inipun begitu tampak kharismatik karena kerap kali diwarnai oleh nuansa spiritual yang begitu kental.
Dengan demikian kita harus menyadari bahwa, “tidak ada nusantara dan indonesia tanpa adanya spiritualisme.” Itulah ajaran dan warisan luhur yang selalu mewarnai perjalanan bangsa ini sejak ribuan tahun dan berabad-abad yang lampau. Dan, itu pula geneaological yang menjadi ciri khas bangsa ini. Menyadari secara genealogis dan historis ini jadi ontologi kesadaran bersama. Tentu agar kuat dan akademis.
Menurut Soekarno, bahwa Pancasila yang digali dan dipersembahkannya kepada rakyat Indonesia itu adalah dasar statis yang dapat digunakan sebagai alat “Revolusi” bagi kehidupan bangsa dan negara ini. Menurutnya, Pancasila itu adalah dasar yang dapat menghimpun segenap tenaga rakyat Indonesia, bukan saja untuk mencetuskan “Revolusi”, tapi juga dapat mengakhiri “Revolusi” itu dengan hasil yang baik.
Yang kedua, menyadari pentingnya revolusi yang tak berhenti. Kenapa? Karena revolusi adalah satu kehendak sejarah bagi bangsa dan negara ini dalam rangka menggenapi kesempurnaan wujudnya sebagai bangsa dan negara yang berazaskan Pancasila.
Untuk itu, tidak perlu gagap lagi untuk membicarakannya, kalau Revolusi itu adalah kebutuhan kita sebagai rakyat, maka kita adakan Revolusi itu seperti kita mengadakan pesta demokrasi untuk bangsa dan negara ini.
Sungguh, “tidak ada yang bisa merubah nasib bangsa dan negaramu, hingga kalian sendiri yang dapat mengadakan perubahan nasibnya oleh kalian sendiri.” Itulah gitanya Soekarno yang sejalan dengan firman Allah di dalam kitab suci agama-agama di nusantara.
Tentu saja, kami tahu sedang berjalan di antara tebing yang curam. Sunyi di antara bisingnya kata dan fitnah dunia. Kering di antara pejabat dan penjahat.
Tapi kami sadar sesadar-sadarnya, sehebat apapun kalian menghujat, jauh lebih hebat ungkapan kata maaf yang kami berikan dari jalan sunyi yang kerap mengasah kepekaan jiwa, ruh, batin ghoib suci dan suksma sejati yang selalu menemani jalan hidup ini.
Kami akan tetap tegar dan berlalu melampaui semua proses di jalan kesunyian, hingga saatnya nanti berjejer barisan sunyi menjadi ramai oleh pekik teriak perubahan yang menjunjung tinggi kebenaran dalam barisan revolusi peradaban.
Ya. Kami di suluhnya jalan. Kami sadar, jalan suluh adalah jalan bagi para pencari pencerahan. Pada jejak masa lalu yang menjadi kunci pengarah perjalanan hidup yang kian tak bertepi, kami terus merevolusi diri dan keadaan.
Kami juga sadar sedang berdiri di antara goncangan semesta yang bergemuruh, deru ombak yang menghempas, bisingnya dunia tanpa perasaan, tanpa moral, tanpa keadilan dan tanpa peri kemanusiaan.
Namun kita semua harus terus berjanji dalam senandika yang penuh hikmat, akan tetap berdiri kokoh walau gelisah melanda jiwa.
Kita sadar revolusi ini adalah sepenggal cerita dunia yang terabaikan, terasing dan terusir dari jahatnya cinta yang mengabaikan rasa.
Tapi, biarlah kita berjalan di atas dunia tanpa kata-kata sambil tetap berjalan menghimpun kekuatan dengan semangat dan cita-cita bersama. Spirit ketuhanan dan spirit semesta jadi bekalnya.
Padamu negeri kami berjanji. Padamu negeri kami berbakti. Padamu negeri kami mengabdi. Bagimu negeri jiwa raga kami.(*)