Oleh Khusnul Imanuddin – Ketua Umum GMMP Jawa Tengah
Bangsa kita Indonesia mengenal dan menjadikan demokrasi sebagai suatu pilar penyelenggaraan negara yang dimunculkan melalui adanya Pemilihan umum secara periodik. Sesuai ketentuan Pasal 22E ayat (6) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, pemilihan umum dilaksanakan untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah diselenggarakan berlandaskan azas langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil setiap lima tahun.
Demokrasi juga memberikan pengertian, bahwa sebuah kekuasaan berasal dari rakyat. Dengan pengertian tersebut, rakyat akan membuat sebuah ketentuan dan mekanisme yang menguntungkan serta melindungi hak-hak dari pada rakyat itu sendiri.
Proses ini banyak mengalami pertumbuhan dari zaman ke zaman. Pemilu pertama diselenggarakan pada tahun 1955, setelah itu berturut-turut diselengarakan pada tahun 1971, 1977, 1982, 1987, 1992, 1997. Setelah berakhirnya era Orde Baru, Pemilu kembali dilaksanakan pada tahun 1999, 2004,2009, 2014, 2019 dan akan diselenggarakan lagi pada tahun 2024 besok.
Putusan sidng uji materi Undang-Undang Pemilu yang dilakukan MK menjawab kegalauan dalam sistem proporsional pemilu. MK menolak permohonan sejumlah kader partai dan bakal calon anggota legislatif untuk mengubah sistem pemilu jadi proporsional tertutup atau coblos partai. Sistem proporsional terbuka dinilai lebih dekat dengan konstitusi yang mengamanatkan kedaulatan di tangan rakyat.
Putusan MK memberikan kepastian hukum bagi penyelenggaraan pemilu. Artinya, tahapan pemilu akan berjalan sesuai ketentuan sistem proporsional dengan daftar calon terbuka yang diatur di UU No. 7 Tahun2017 tentang Pemilu.
Dengan sistem pemilu proporsional terbuka, pemenangan partai menjadi lebih bergairah untuk menggerakkan caleg untuk bekerja mencari suara bagi perolehan kursi partai. Semua caleg punya peluang keterpilihan yang sama sepanjang mampu menjangkau pemilih dengan cara-cara yang tepat dan menggerakkan pemilih untuk ke TPS dan mencoblos mereka secara langsung. Mesin partai tak hanya digerakkan elite, tetapi juga oleh seluruh caleg dan tim pemenangannya.
Sistem ini menunjukkan bahwa pemilih tidak lagi memilih kucing dalam karung, karena pemilih tahu profil sekaligus rekam jejaknya, sehingga ketika terpilih nanti, antara pemilih dan wakil terpilih terjalin hubungan politik yang dapat dipertanggungjawabkan satu sama lain.
Tentunya sudah menjadi konsekuensi dikarenakan sistem proporsional terbuka berbasis kandidat maka muncul persaingan ketat antar kandidat dalam internal partai, persaingan kandidat eksternal partai, dan persaingan akan ramaikan kandidat antar daerah pemilihan dalam merebut kursi diparlemen yang terbatas.
Maka dalam proses kompetisi pada pemilu 2024 nanti, para kandidat juga harus dipersiapkan diri untuk menjadi yang paling pantas dalam merebut hati pemilih. Dalam proses pemilihan umum ini, pemilih harus jeli untuk memilih yang pantas untuk dipilih. Hal ini bisa dilihat dari gagasan dan visi misi peserta. Bukan hanya dilihat dari berapa nominal yang diberikan saja, karena ini menyangkut masa depan Indonesia selama lima tahun yang akan datang. So, jadilah pemilih yang cerdas dan jangan mau menjual suara dengan nominal yang tidak seberapa. (*)