Oleh Yudhie Haryono – Inisiator Forum Negarawan
Poco-poco. Maju untuk mundur. Itulah tesis umum wargawaras terhadap kepemimpinan kita. Kepemimpinan di tingkat apapun, mirip. Berbagai prestasi diperoleh, sepuluh kali lipat kemunduran diproduksi. Mengapa begitu dan apa solusinya?
Kepemimpinan yang mentradisikan gerakan poco-poco (tetuko: sing teko gak tuku, sing tuku gak teko) adalah karena mereka tak punya mental transformasional. Kita tahu bahwa kepemimpinan transformasional adalah kepemimpinan yang memotivasi dan menginspirasi rakyatnya. Mereka memimpin dengan mental visioner dan kharismatik. Hal ini karena kepemimpinan transformasional bertujuan untuk meningkatkan motivasi intrinsik rakyatnya agar bergerak terpadu, maju dan dominan.
Robbins dan Judge (2008) daya dan gaya kepemimpinan transformasional adalah mereka yang menginspirasi rakyatnya untuk menyampingkan kepentingan pribadi dan golongannya demi kebaikan bersama, dalam hal ini negaranya. Apabila pemimpin mampu menerapkan gaya kepemimpinan transformasional maka kinerja dan nasib rakyatnya dipastikan membaik. Mampu menemukan solusi, bukan menambah beban.
Mengapa mereka harus jadi pemberi solusi? Sebab, kehidupan kita sudah penuh problema. Dus, pemimpin transformasional adalah orang yang selalu jenius, kreatif dan berpikir-bertindak besar dengan mendukung rakyatnya untuk mengembangkan dan mengeluarkan seluruh potensi yang ada di diri masing-masing. Mereka sadar bahwa rakyatnya harus terlibat aktif bahu membahu gotong royong dalam mencapai visi misi bersama. Satu visi misi yang digariskan dalam konstitusi negaranya.
Singkatnya, secara definitif, kepemimpinan transformasional adalah sebentuk nilai, keyakinan, kebutuhan dan mentalitas kolektif yang termasuk di dalamnya berisi hasrat kuat perubahan sebagai bentuk terobosan baru demi cita-cita bersama. Pada pemimpin dengan gaya transformasional ini diyakini bisa mempengaruhi kinerja cipta, karsa, karya dan nasib secara keseluruhan.
Tetapi, di Indonesia ternyata mental transformatif saja tak cukup. Ia harus dilengkapi oleh mental nasionalistik dan konstitusional.
Apa itu? Adalah kepemimpinan inklusif jenius, yang membebaskan, memajukan, memuliakan keadilan dan persaudaraan demi tumpah darah daratan, air dan udara serta seluruh penghuninya.
Ini kumpulan mentalitas dan karakter yang harus dikurikulumkan kembali saat kita lupa
dan berkubang dosa. Inilah jenis kepemimpinan yang lapang dan toleran serta memberi semangat jihad dalam seluruh ultima berwarga, bernegara, berbangsa, dan bersemesta.
Kita rasakan warga dan bangsa ini sudah lama melepaskan diri dari sumber energi yang lebih besar: dengan mengkhianati ketuhanannya, membunuh nuraninya, memanipulasi persatuannya, mencurangi kebijaksanaannya, menculasi keadilannya.
Seringkali kita cenderung menjual murah, memanipulasi dan memaksa sesama untuk tunduk dan patuh pada kejahiliyahan saja. Ketika berhasil menguasai orang lain dengan cara tersebut, kita merasa lebih kuat, hebat, bangga dan serakah. Lahirlah perang berenergi fundamentalis yang sangat serakah.
Padahal, keserakahan adalah penyebab dari semua konflik antarmanusia; antar negara; antar bangsa dan antar peradaban. Maka, kepemimpinan nasionalistik yang konstitusional akan mengobati serta mencerahkannya jika diseduh dengan madu pikiran, ucapan dan tindakan kesahajaan.
Dengan mental dan tradisi kepemimpinan itu, negeri kita seharusnya berjalan tanpa korupsi, tanpa kolusi, tanpa nepotisme, tanpa kemiskinan, tanpa kesenjangan, tanpa penipuan, tanpa amoralisme, tanpa kebodohan, tanpa kesakitan, tanpa penjajahan, tanpa kerakusan dan tanpa pengkhianatan.
Jika mentalitas tersebut menjadi tradisi yang hidup, praktis negeri kita menjadi mercusuar dunia. Rakyatnya bahagia, negerinya makmur, semestanya diridaiNya, warisannya membanggakan dan suasana seperti
di syorga.
Inilah tanah syurgawi, tanah di mana jiwa raga kami baktikan, janjikan dan persembahkan serta wakafkan. Tanah, air, udara yang terus menjadi inspirasi dunia. Semoga.(*)