Oleh Yudhie Haryono – Presidium Forum Negarawan
Kawan bertanya, “apa yang harus dilakukan jika ada kesempatan dari semesta untuk ikut memperbaiki republik?” Kujawab tegas, kita harus lakukan panca dharma sebagai tafsir atas pancasila, yaitu: rekonstitusi, nasionalisasi, rekapitalisasi, refinansialisasi, dan reindustrialisasi.”
Artikel ini pamungkasnya. Hadir sebagai cara untuk memastikan nilai pancasila dan perintah konstitusi menjadi nyata. Mengapa? Sebab, kita sedang menghadapi panca problema Indonesia, yaitu: 1) Negara limbo: sekarat. Yang lama hilang, yang baru tak kunjung datang. 2) Warganegara fraktalis: kehidupan yang terpecah dan multifokus. 3) Mental rakyat volatil: visi misi mudah berubah di tengah gejolak politik yang dinamis. 4) Karakter elit jago kandang: inward looking, berbahagia melihat kawan paria dan sedih melihat kawan sukses. 5) Tradisi sekolah rabun: pandangan kabur terhadap sejarah masa lalu dan masa kini sehingga bimbang menatap masa depan.
Tak percaya? Lihat bukti berikut sebagai akibat panca problema. Sampah-sampah rakyat tertangkap KPK sebagai pameran kejahatan kemanusiaan. Dari 2004-2023 KPK telah menangkap 1.615 yang 880 adalah pejabat publik. Mengerikan bukan panen KKN kita?
Lalu, sampah-sampah bertebaran di jalan, sungai, pantai dan hutan sebagai pameran kebodohan manusia. Per 2022, hutan, sungai dan laut kita adalah tempat tercemar kelima di dunia. Sampah-sampah limbah industri sebagai pameran kerakusan manusia dan khianat bumi. Per 2023, menurut FED, kita adalah produsen sampah plastik terbesar kedua di dunia.
Sampah-sampah keruwetan pengendara di lampu merah sebagai pameran kedunguan kita semua. Sampah-sampah birokrat yang memperlambat pelayanan publik sebagai pameran kedurhakaan kita pada semesta. Ya, jujur kita tak punya prestasi mengatasinya. Padahal, muaranya adalah potret kemiskinan, pengangguran dan kebodohan.
Di sini, kita perlu revitalisasi industri. Projek reindustrialisasi penting karena sektor industri merupakan pengmemberikan kesempatan kerja secara luas dan nilai tambah yang besar sehingga mampugerak perekonomian negara yang menyelesaikan masalah utama kita yaitu mengurangi kemiskinan, pengangguran dan kebodohan.
Tetapi, itu tak mudah. Sebab yang sedang terjadi justru deindustrialisasi. Yaitu, hancurnya peran industri dalam perekonomian. Buktinya, kontribusi pada produk domestik bruto (PDB) maupun daya serapnya terhadap tenaga kerja berangsur surut, jumlah perusahaan di sektor industri juga menurun (bahkan bangkrut dan mati). Kondisi ini kita hadapi sejak lebih dari satu dekade atau 10 tahun silam.
Kita seperti digiring menjadi negara konsumen, anti negara produsen, alergi tekhnologi. Tentu ini melanggar DNA kita sebagai pewaris bangsa maritim, peradaban bertekhnologi tinggi dan penakluk semesta via jalur rempah dan jalur spiritualitas dunia.
Akhirnya, industri besar, menengah, kecil, dasar bahkan strategis mengalami stagnasi dan stuck. Padahal, jika itu dikerjakan, kita akan tumbuh menjadi negara super power kembali.
Bagaimana caranya? Pasti reindustrialisasi dengan menciptakan kembali arsitektur industri baru yang kuat di basis (pertanian, kesehatan, kelautan, peternakan, perikanan), kuat di tengah (digital, IT, finansial, persenjataan), tinggi dan strategis (energi berkelanjutan, penerbangan, satelit, nuklir) sebagai bagian dari upaya untuk mentranformasi industri kita secara menyeluruh serta menjawab pengangguran, kemiskinan dan kebodohan. Di sini poin penting dan utama.
Singkatnya, tak ada peradaban besar yang mengalpakan industri dan tekhnologi. Tapi, harus yang memanusiakan manusia, berkelanjutan serta menghormati bumi, semesta dan lingkungan. Maka, menarik tesis Freiderich Nietzche, “der wille zur macht,” bahwa manusia berkuasa untuk menciptakan masa depan yang nyata-nyata berpihak pada “musuh” semua umat manusia: kebodohan, kemiskinan, kekumuhan peradaban, dan perlombaan industri dan tekhnologi yang berujung perang dan penjajahan. Semoga.(*)