Oleh Yudhie Haryono – Direktur Eksekutif Nusantara Centre
Disahkannya dua UU Omnibuslaw: tenagakerja dan kesehatan, bukan hanya mengakhiri perlawanan oposisi terhadap istana, tapi juga akan dikenang sebagai “tragedi kemanusiaan” karena daya rusaknya begitu dahsyat.
Demonstrasi perlawanan yang menghasilkan korban, baik cidera maupun nyawa, akan terus berjatuhan. Rakyat menanggung beban bercokolnya elite silite yang menyembah uang dan menjual murah kedaulatannya. Kemiskinan pasti makin lebar, ketimpangan pasti makin panjang. Luas keduanya makin membahana, digdaya dan tak mungkin lagi bisa dikontrol.
Inilah dosa terbesar para elite nasional yang kemudian dikopi elite regional dan lokal. Korupsi jadi agama. Kolusi jadi budaya. Nepotisme jadi tradisi. Dosa waris, dosa turunan dan dosa dari segala dosa.
Korupsi, kolusi dan nepotisme terjadi di seluruh sektor negara dan pemerintahan, baik lembaga eksekutif, legislatif, terakhir korupsi hakim agung semakin melengkapi korupsi di sektor yudikatif. Setidaknya ada 1.351 kasus KKN yang ditangani KPK Sepanjang 2004 hingga 2022.
Alhasil prinsip check and balances antar tiga cabang kekuasaan tersebut menjadi tidak berjalan. Lembaga hukum (kehakiman, kejaksaan, kepolisian, KPK) lumpuh dan kini bahkan mereka ikut-ikutan korupsi.
Dampak KKN itu luwarbiasa destruktif. Dari sisi ekonomi menghasilkan kelesuan pertumbuhan ekonomi dan investasi, defisit pemerataan, penurunan produktivitas, rendahnya kualitas barang dan jasa publik, menurunnya pendapatan negara dari sektor pajak dan meningkatnya hutang pemerintah. Untuk yang terakhir, hutang kita makin membuat kita kehilangan kedaulatan.
Praktis, kita loyo. Sebab, menurut Misbakhun, anggota DPR dari partai Golkar (15/05/2023), menyebut bahwa hutang negara kini tembus di angka Rp 20.750 Triliun.
Data dan fakta itu membuat mimpi revolusi mental, gagal. Membuat revolusi sosial, mandek. Membuat reformasi struktural, membusuk. Padahal trias revolusi itu dimaknai sebagai upaya perubahan untuk mengubah struktur masyarakat korup-feodal menuju tatanan negara yang demokratis dan berkeadilan; juga memupuk kesejahteraan dan kesentosaan di mana saja.
Semua usaha itu kini di tepi jurang. Seperti tak ada harapan. Kekalahan makin riil. Kepariaan makin meluas. Tak terlihat sinar mentari. Tak ditemukan kerlip bintang. Tak dirasa kemilau sinar rembulan. Tangan seperti terborgol. Pedang makin tumpul. Bambu runcing makin lunglai.
Lalu, apa yang harus dilakukan? Menghadirkan iman, cara baru berperang dan keikhlasan sambil tegakkan kepala kita, para patriot sejati. Ingat bahwa tuhan memberikan pertempuran tersulitNya kepada prajurit terkuatNya. Ingat bahwa siapapun bisa menghadapi kemenangan, tetapi hanya kaum perkasa yang bisa menanggung kekalahan.
Ingat bahwa kekalahan sejati hanya terjadi jika kita berhenti. Jika kita tidak pernah mau berhenti, kita tidak akan pernah benar-benar dikalahkan. Tidak benar-benar ditawan apalagi mati. Kalaulah mati, itu pupuk perlawanan bagi ahli waris yang akan datang. Ayok bangkit. Buang keluh kesah. Buang sikap pasrah. Buang kata menyerah.(*)