Yudhie Haryono – Presidium Forum Negarawan
Berbondong-bondong manusia mencari “harta karun” itu, tapi tak banyak yang bertemu. Kebanyakan menggantinya dengan patung-patung dan berhala baru. Munculah uang, jabatan, seks, iptek dan posisi. Tetapi, tetap saja orang-orang itu merasa kurang. Lalu, sekali lagi mereka tenggelam dalam laku “the pursuit of happyness.”
Mengapa begitu? Mari kita dialogkan hal tersebut di kelas ke empat dari lima pertemuan yang direncanakan membahas pikiran para pendiri republik. Di forum ini pantas rasanya kita ungkap pemikiran Ki Ageng Suryomentaram, seorang filsuf terbesar nusantara pasca Ronggowarsito. Dialah platonya Indonesia, sidhartanya Jawa, ghandinya (avatar) kita semua; banyak juga yang menyebut sang Matahari Jawa atau Sang Pencerah dari Mataram. Jelasnya, ia guru Bung Karno dan sekutu Ki Hajar Dewantara yang telah berjasa, tetapi dilupa.
Mengejar kebahagiaan itu bisa dilakukan oleh semua orang, tapi untuk mendapatkannya hanya didapati dari diri (ingsun) dan dari liyan (semesta). Jika mampu menemukan diri sendiri, diri sejati, kesejatian maka timbul rasa senang. Rasa itu dinamakan “rasa bahagia.” Tentu ini bahagia yang bebas, tidak tergantung pada tempat, objek, waktu dan keadaan. Suryo menuliskan soal itu dalam buku “Uran-Uran Beja.”
Memang, untuk menjadi bahagia itu penting, namun merasa bahagia itu tidak pas. Spiritualitas akan membuat kita menjadi bahagia, tetapi bukan merasa bahagia. Orang bahagia tidak akan berpikiran bahwa ia adalah yang paling bahagia. Sebaliknya orang yang merasa bahagia, di dalam pikirannya hanya dirinyalah yang paling bahagia.
Ciri orang bahagia itu berpikiran benar, dengan pikiran itu, ia mampu menyadari kesalahannya. Sedangkan orang yang merasa benar, ia merasa tidak perlu untuk mengakui salahnya. Orang bahagia yang benar akan selalu introspeksi diri dan bersikap rendah hati, bukan rendah diri. Sedangkan orang yang merasa benar, merasa tidak perlu introspeksi, akan cenderung tinggi hati.
Orang bahagia yang benar memiliki kelembutan hati. Ia dapat menerima masukan dan kritikan dari siapa saja, sekali pun itu dari musuhnya. Sebaliknya, orang yang merasa benar, hatinya keras dan sulit menerima nasihat dan masukan apalagi kritikan.
Orang bahagia yang benar selalu menjaga pikiran, perkataan dan perbuatannya, sehingga hidup penuh kehati-hatian. Sebaliknya, orang yang merasa benar akan berpikir, berkata, dan berbuat sekehendak hatinya, tanpa pertimbangan atau mempedulikan perasaan orang lain.
Pada akhirnya, orang bahagia yang benar akan dihormati, dicintai dan disegani oleh banyak orang. Sedangkan orang yang merasa benar hanya akan disanjung oleh mereka yang berpikiran sempit; yang sepemikiran dengannya, atau mereka yang hanya sekadar ingin memanfaatkan dirinya.
Gagasan-gagasan di atas mudah dibaca, sukar dicerna, juga berat diimplementasikan. Tetapi, bagi para salik, itu tantangan yang akan terus dihadapi. Jangan berkecil hati sebab, sebagai “guru tercerahkan” yang aktif dan progresif, Suryomentaram mewariskan beberapa buku keren untuk panduan: Kawruh Jiwa, Kawruh Beja, Ukurang Kaping Sekawan, Pangawikan Pribadi, dll.
Baginya, keinginan manusia bisa dibagi menjadi tiga kategori: 1) Semat (ingin material); 2) Drajat (ingin diakui liyan); 3) Kramat (ingin kuasa terhadap liyan).
Dan, menurutnya kunci untuk mengendalikan keinginan tersebut agar kita hidup bahagia adalah dengan “enam sa”: Sakepenake (senyamannya), sabutuhe (sekedar memenuhi kebutuhan), saperlune (sesuai keperluan), secukupe (secukupnya), samestine (semestinya) dan sa’benere (sebenernya).
Hidup yang mendatangkan kebahagiaan itu adalah saat kita menginginkan sesuatu yang pas dan berhasil kita dapatkan. Jika tidak, kebahagiaan itu hilang. Lahirlah hukum “mulur-mungkret” (berkembang-menyusut), sebuah keinginan akan bertambah bila terpenuhi dan menyusut bila tak tercapai. Bahagia bila terpenuhi dan sebaliknya jika gagal susah rasanya.
Lahir dari kerajaan dan turunan raja dengan nama kecil Kudiarmadji, ia tumbuh penuh liku sebelum menjadi dirinya sendiri dan tunduk pada kreasi agung bagi zaman dan pewarisnya. Ia wariskan perguruan taman siswa dan praktik ikhlas pada sesama. Padahal, belajar ikhlas itu bagai bintang di surga. Sebab bintang tak di neraka. Belajar setia itu bagai kirab seluruh warna. Sebab setia tak tunggal warna. Belajar sabar itu bagai kasih yang setia. Sebab sabar itu bhineka yang ika.
Ya. Belajar mendengar itu bagai cahaya nyata. Sebab mendengar itu lebih kenyal dan lentur. Belajar menerima itu bagai bidadari di surga yang berikan cerita serta kasih yang setia plus cahaya nyata untuk hidup berpancasila. Sebab menerima itu lapang dan panjang.(*)