Oleh Yudhie Haryono – Presidium Forum Negarawan
Buku besar. Itu ingatanku padamu. Ya, buku-buku karyamu selalu besar: tebal dan berbobot. Publik menyebutmu intelektual kenamaan Indonesia. Tetapi, aku tak akan mendapati karya itu lagi sebab sosok asal Flores, Nusa Tenggara Timur barusan berpulang. Meninggalkan kita semua.
Indonesia berduka kembali. Ignas Kleden meninggal dunia pada hari Senin, 22 Januari 2024 pukul 03.46 WIB di Rumah Sakit Suyoyo, Jakarta Selatan. Kemarin bung Rizal Ramli, kini bung Ignas Kleden, besok entah siapa menyusulnya. Yang pasti, kita semua akan mati dan fana.
Suatu kali, ia berkata padaku sangat serius, “Di Indonesia tidak ada intelektual yang berani bilang inilah metode kita. Baru kamu yang menyusun nusantara studies. Makanya, kita sangat senang kalau bisa mengutip dari sebuah buku dari aliran liberal atau aliran marxis untuk memperkuat argumen. Kita tidak berusaha membangun semacam argumen dan metoda kita sendiri. Padahal, itu sudah dilakukan oleh intelektual jauh sebelum kita lahir.
Misalnya, orang seperti Soepomo dalam bidang hukum, Soedjatmoko dalam historiografi, Pramoedya dalam sastra realis. Mereka sudah berusaha, tapi tidak ada gayung bersambut di antara segenerasi dan yang kemudian. Akhirnya mati, kering dan hilang. Begitu juga saat kamu menyusun metoda nusantara dan psikohermeneutika.”
Jelas ini kritik dan apresiasi yang luar biasa. Dan, aku betul-betul merasakan apa yang ia resahkan. Tetapi, kita bisa apa, saat semua ilmuwan tersirep dalam tarian dansa politik pendangkalan seperti hari ini?
Suatu kali, kami bincang di toko buku. Ia bertesis, “negeri ini tidak punya intellectual history di dalam sejarah politik kita. Sejarah sosial ada. Tapi kita belum sadar bahwa intelektual itupun harus ada sejarahnya yang berjalan dari masa ke masa, dan disambung atau diputuskan dari satu masa ke masa.
Jadi, pengolahan kembali gagasan-gagasan dari Soekarno-Hatta dkk mengenai nasionalisme, koperasi dan keadilan sosial tidak dilakukan. Padahal mereka berpikir dengan cara yang cukup serius pada waktu itu. Jadi post colonial state itu sudah dilakukan, atau post colonial theory itu sudah dimulai dan dilakukan dengan baik oleh para pendiri republik.
Sekali lagi, kita tidak melanjutkannya. Tidak meramu ulang menjadi teori sendiri yang mapan. Kita baru menerima ketika orang di luar ngomong, post colonial theory. Sungguh absen soal-soal pribumisasi ilmu politik, ilmu sosial dan tafsirannya.”
Tragis. Padahal sudah 78 tahun kita merdeka. Yang tumbuh ilmu luar dengan asbab nuzul luar. Lahirlah sinetron di mana-mana. Kini bahkan sinetron capres membuat penonton bucin dan baper. Tetapi, berjuta-juta orang doyan nonton. Dengan serius dan nafsu yang fundamentalis.
Padahal, suatu bangsa akan mengalami kejayaan, ketika otak menjadi panglima. Dan mengalami masa keemasan, ketika otak dan hati disatukan.
Sebaliknya, suatu bangsa akan mengalami kegagalan, ketika hasrat dan nafsu menjadi rujukan. Khianat dan tamak jadi tradisi.
Menguatkan realitas itu, aku pernah riset kecil-kecilan di kampus kami soal apa hobi mahasiswa/i hari ini di medsos? Jawabannya keren dan meresahkan. Sebab, 5 besarnya adalah: 1) Gosip, 2) Guyon, 3) Gibah, 4) Gontokan/ribut di medsos, 5) Gak gubris/cuek.
Itu 5 jawaban tertinggi dari 1500 mahasiwa/i yang ditanya dengan kuisioner. Jadi, bisa disimpulkan bahwa hoax dan prank di mahasiswa/i sudah kultur kini. Tak ada pengetahuan, tak lahir ilmu dan tak subtantif kehidupan mereka.
Walau begitu, Tuan Kledeng, kita tetap terus bekerja, berdoa dan berusaha sekuat tenaga. Tentu, aku berduka dan berdoa untukmu. Selamat jalan. Sepeninggalmu, semoga peristiwa besar segera terjadi. Negara besar runtuh. Kemunafikan dan oligarki akan dibersihkan.
Dari hati dan pikiranku terucap, “Peradaban agung akan lahir kembali. Iptek bersemi. Semua kebaikan bertunas dan tumbuh subur. Aku akan bersama tunas baru. Merealisasikan pesan semesta. Seperti harapanmu padaku. Pada republik ini. Negara bangsa yang kita cintai.”(*)