Oleh Yudhie Haryono – Presidium Forum Negarawan
Judul: Pelayaran dan Perniagaan Nusantara Abad Ke-16 dan 17.
ISBN: 9789793731322.
Penulis: Adrian B. Lapian.
Penerbit: Komunitas Bambu.
Terbit: 2017.
Harga: 199.000
Angin merupakan udara yang bergerak. Jika kita mengamati setiap detail hal-hal yang ada di sekitar, maka kita akan mengetahui betapa besarnya reaksi dari angin. Beberapa jenisnya berasal dari dunia maritim (h.2). Sebab, kapal dan rutenya tak bisa terpetakan kecuali lewat angin yang ada di sekitar kita.
Model pelayaran kita tidak terlepas dari sistem angin. Di nusantara terdapat beberapa istilah untuk setiap jenis angin, di antaranya angin taufa, angin langkisan, angin sendalu, dll. Zaman kebaharian meninggalkan perbedaan antara negeri di atas angin dan negeri di bawah angin.
Karena itu pengetahuan tentang angin juga sangat penting bagi nelayan untuk berlayar. Kondisi alam yang terletak di daerah khatulistiwa seharusnya menempatkan kepulauan kita sebagai wilayah kekuasaan pusat, yaitu tempat bertemunya angin yang disebut intertropocal front (daerah mati). Sayang karena jahiliyah, kitanya yang mati.
Dalam buku ini, Adrian B. Lapian menggambarkan sejarah yang masih amat kurang diketahui yaitu sejarah pelayaran dan perdagangan, sesudah kerajaan-kerajaan Indonesia Hindu atau masa pertumbuhan dan perkembangan kerajaan-kerajaan Islam (1500-1700).
Sejarawan yang mendapat gelar nahkoda sejarah maritim Indonesia ini mengajak kita menelusuri jejak nusantara dengan budaya maritimnya yang telah mengembangkan jaringan maritim yang sangat baik, didukung oleh kemajuan teknologi kapal, keahlian navigasi, dan suatu enterprising spirit yang besar. Singkat, padat dan menjadi referensi yang mampu dengan cepat membawa kita memasuki serta mengenali budaya maritim dan pasang surut suatu episode penting zaman bahari purba.
Karenanya, nusantara tak punya sejarah tunggal. Dunia maritim punya beragam sejarah. Sedang Indonesia memiliki sejarahnya sendiri. Tetapi, nusantara, maritim dan Indonesia ditautkan dalam satu kalimat enigmatis, “kejahiliyahan yang maha esa.”
Kini, kita sedang mengidap “impostor syndrom” (meragukan diri sendiri) dalam meraih beberapa target bernegara: membangun kedaulatan, merealisasikan kemandirian, menyelamatkan warga negara, memastikan keadilan, mentradisikan kesejahteraan, mengkurikulumkan kecerdasan.
Rasanya kuldesak. Jalan makin buntu, yang kere sendirian dan tenggelam dalam kesepian tanpa ujung. Tak terlihat setitik sinar. Tak punya lagi segenggan iman. Tak ada lagi pegangan iptek. Sebab yang diwarisi dan ditradisi hanya satu: mencuri.(*)