Oleh Yudhie Haryono – CEO Nusantara Centre
Sudah lama. Sangat lama. Para bajik berfatwa, “sesungguhnya perang terbesar dalam sejarah kemerdekaan suatu bangsa adalah menegakkan kedaulatan negara dan warganya.” Tetapi, di sini kisah Indonesia hari ini. Defisit kedaulatan publik, minus kemakmuran bersama, lumpuh keadilan sosial.
Tentu ini problem besar. Sebab, sudah 79 tahun kita merdeka. Padahal, cita-cita kita bersama dalam bernegara sungguh mulia. Maka, mari berefleksi. Sungguh tiada dimaksud dirumuskan dan disepakati pancasila dan konstitusi untuk Indonesia agar kita menjadi susah, tersesat dan bertikai antar sesama warganegara. Ketahuilah bahwa Indonesia itu bumi sorgawi dan pancasila itu adalah pintu masuknya; Indonesia itu tanah suci yang dijanjikan dan pancasila itu kuncinya.
Tetapi, mengapa kalian berlomba-lomba mengkhianati dan menggantinya? Itulah mengapa kalian tak akan mampu masuk dan menempati serta mendapati bumi sorgawi serta tanah harapan. Kalian justru kini asyik bertengkar dan menumpuk-numpuk nafsu serakah sebagai modal perang saudara. Kalian mau jadikan bumi ini medan kuruserta, paregreg penghancur segala kebaikan serta warisan terjenius yang pernah ada.
Mestinya di negara pancasila kita akan melihat, merasakan dan dapat mempelajari keagungan dan kedalaman jiwa manusia yang menyemesta. Di tanah ini terlukis jelas rekaman pikiran, tindakan serta semangat orang-orang yang lebih mementingkan kebaikan di atas kenikmatan dan kesenangan dunia, sekaligus yang melihat misteri kehidupan secara lebih mendalam.
Tetapi, yang terjadi kini sebaliknya. Nafsu angkara mengemuka. Menyembah hal-hal profan yang bersumbu pendek. Mereka memunggungi kemanusiaan dan mengkhianati kesemestaan. Adanya hidup rakus dan rapuh. Dan, dalam kerakusan dan cinta yang rapuh, jangankan berbagi kebahagiaan, sekedar menyapa serta berbagi rizki tak sudi. Cinta bagi si rapuh bukan tenaga, doa dan gotong royong. Tapi penyakit yang terkutuk, rakyat yang buruk, negeri tertunduk membusuk.
Padahal para pendiri republik telah bicara bahwa, “tidak ada negara yang besar tanpa pemerintah yang bersih. Tidak ada kemakmuran bersama tanpa keadilan. Tidak ada keadilan sosial tanpa aparatur negara yang idealis.” Oleh sebab itu, negara Pancasila itu anti KKN; tak ada fasisme, tak hadir feodalisme, tak hidupi komunisme dan tak beriman pada liberalisme.
Di negara pancasila, harusnya semua undang-undang dan agensinya pancasilais. Keduanya menganggap penting kemampuan menangkap, mengadili dan memusnahkan para pencuri, pencopet, perampok, penggarong, koruptor dan pengkhianat republik dari dalam dan luar negeri.
Sayangnya yang terjadi hari ini sebaliknya. KKN merajalela. Di negeri Indonesia hari ini, bagi politisi rakus, “setiap kemalangan orang lain akan selalu dimanfaatkan sebagai peluang untuk dirinya.” Di negeri ini, para pedagang rakus bin culas merasa di sorga: hidup dalam keberlimpahan orang-orang malang yang mudah dan murah untuk terus dimanfaatkan.
Itulah mengapa orang-orang yang sejak dari pikiran ingin merampok negara, berjaya dalam kursi kuasa. Tanpa national interest, mereka melenggang membentuk rantai KKN dan kerajaan riil keluarga selama beberapa dekade. Fasisme dan feodalisme jadi kurikulum dan tradisi yang makin hari makin tidak tak terbantahkan. Keluarga oligarki tumbuh subur bak jamur di musim hujan.
Padahal, setiap presiden republik Indonesia bertugas menegakkan negara pancasila, bukan menguatkan negara oligarki. Presiden kita itu mestinya ketua panitia kesejahteraan, keadilan, kemakmuran dan kemartabatan seluruh rakyat. Bukan presiden sebagian warga negara. Presiden revolusioner.
Karenanya, kita harus paham, jika bermimpi untuk revolusi saja presiden kita takut, maka kita adalah orang yang tidak tahu arah masa depan; masa depan rakyat Indonesia; masa depan bangsa Indonesia. Itu artinya, kita membuang kebahagiaan sejati yang siap memeluk Indonesia sepanjang hari. Kita seperti tak mau menyadari bahwa semua hanyalah makhluk fana yang bertugas menjaga semesta agar bahagia.
Saat kita anti revolusi maka negara pancasila menjadi seni untuk melukai diri sendiri dengan syahdu dan menyayat hati. Kini, hari ini Indonesia mengalami apa yang tidak tak terperi: warganya meninju angin, melukis langit, menggarami lautan. Mereka menunggu ratu adil, para kesatria dan projek transformasi besar seperti kisah-kisah dalam kitab suci.(*)