Harian Semarang
No Result
View All Result
Jumat, Agustus 8, 2025
  • Beranda
  • News
    • Internasional
    • Nasional
    • Regional
    • Pantura Raya
    • Soloraya
    • Wonogiri
  • Pendidikan
  • Hukum
  • Politik
  • Agama
  • Ekonomi
  • Gaya Hidup
    • Kesehatan
    • Kuliner
    • Olahraga
    • Sport
    • Ragam
    • Seni Budaya
    • Sosialita
    • Teknologi
No Result
View All Result
  • Beranda
  • News
    • Internasional
    • Nasional
    • Regional
    • Pantura Raya
    • Soloraya
    • Wonogiri
  • Pendidikan
  • Hukum
  • Politik
  • Agama
  • Ekonomi
  • Gaya Hidup
    • Kesehatan
    • Kuliner
    • Olahraga
    • Sport
    • Ragam
    • Seni Budaya
    • Sosialita
    • Teknologi
No Result
View All Result
Harian Semarang
No Result
View All Result
Home Kolom

Kitab Raya Bundet Semesta

7 Februari 2022
in Kolom
Kitab Raya Bundet Semesta

Kitab Raya Bundet Semesta. Foto Pixabay/ReadyElements

0
VIEWS
Share on FacebookShare on Twitter

Orang-orang sekulah memanggilmu Ella. Mungkin karena seperti futurolog. Mungkin karena sedikit norak. Mungkin karena vision yang dimiliki. Mungkin karena bermakna yang tersakiti. Mungkin karena hilang dan kini ditemukan kembali.

Jika minggu pagi tiba, engkau mengirimiku nujum modern. Satu-satu kukumpulkan. Sudah setengah tahun. Saat engkau menyampaikan sedang bercinta dengan Tuhan, kuketik ulang di sini sebab aku cemburu. Fatwa terbaikmu tertulis, “banyak rumah semakin besar, tapi keluarganya semakin kecil.” Kini terlihat beberapa rumah mewah dan besar dengan satu dua anak, saat bersamaan pada gubuk-gubuk reyot dan mau roboh terdapat lima sampai sembilan anak-anak yang sumpek.

Dari tempat semedi saat mendapat tamu para malaikat, engkau menulis keresahan, “kini gelar semakin tinggi, akal sehat semakin rendah. Pengobatan semakin canggih, kesehatan semakin buruk.” Aku termenung membacanya berulang. Tapi sisa wangi jiwamu yang kuhirup semilyar tahun lalu masih terasa. Maka, walau tiap malam kini hujan bertalu-talu aku tetap ingat padamu. Jiwamu tak terbawa hanyut banjir hujan yang marah karena hutan-hutan digunduli tangan-tangan syaitan.

Dari tempatmu bercinta, engkau masih terus mengirim fatwa mutakhir yang keren dan tangguh, tulismu “kini kita melakukan travelling keliling dunia, tapi tidak kenal dengan tetangga sendiri. Kita mendapat penghasilan semakin meningkat, tetapi ketentraman jiwa semakin berkurang karena konflik dan saling sikut.” Membacanya seperti sedang melihatmu telanjang dada yang bergemuruh marah dan pasrah.

Dari gunung yang sedang engkau daki, kuterima ketikan yang makin jleb, “kualitas ilmu semakin tinggi, tapi kualitas emosi semakin rendah. Jumlah manusia semakin banyak, tapi rasa kemanusiaan semakin menipis. Pengetahuan semakin bagus, tapi kearifan semakin berkurang. Perzinahan semakin umum, tapi kesetiaan semakin punah.” Tapi kita bisa apa? Semua makin gelap dan tak tahu kita harus bagaimana. Kakiku dan mataku terasa terantuk batu dan godam dari neraka.

Dari tempat sekulah TK engkau mengajar, kuterima fatwa lainnya. “Kini kita makin banyak teman di dunia maya, tapi tidak punya sahabat yang sejati. Minuman semakin banyak jenisnya, tapi air bersih semakin berkurang jumlahnya. Pakai jam tangan mahal, tapi tak pernah tepat waktu.” Hipotesa-hipotesamu makin menghipnotis jantungku. Sampai-sampai aku sering tersedak. Andai saja kau baca itu di depanku, sudah kuhabisi bibirmu.

Dari rumah ibadah yang makin ramai, engkau juga pernah mengirim gundah. Sejumput sumpah serapah. “Ilmu semakin tersebar, tapi adab dan akhlak semakin lenyap. Belajar semakin mudah, tapi para guru semakin tidak dihargai.” Semua betul. Semua tesismu benar. Tapi siapakah yang bisa bertahan? Siapakah yang mampu memperbaiki? Sebab kini kita rasakan bersama Tuhan bisu tuli dan tak sudi.

Kawan, katamu. Di sisa umur kita, “teknologi informasi semakin canggih, tapi fitnah dan aib semakin tersebar. Orang yang rendah ilmu banyak bicara, tapi orang yang tinggi ilmu banyak terdiam. Tontonan semakin banyak, tuntunan semakin berkurang. Akhirnya tontonan yang kurang baik, kurang mendidik berkembang jadi tuntunan. Sehingga yang rusak makin tambah rusak.” Aku ngilu membacanya. Entah orang lain. Mungkin karena aku masih manusia. Bukan malaikat apalagi syaitan yang tinggal di istana.(*)

Yudhie Haryono

Tags: M Yudhie HaryonoPancasilaParadoksTabula rasaYudhie Haryono
Previous Post

Golkar Dukung Kebijakan Wali Kota Semarang Evaluasi PTM

Next Post

Usai Kecelakaan Sepeda, Ganjar Langsung Cek Kamar, Ada Apa?

Next Post
Ganjar Pranowo sepeda bersama istrinya

Usai Kecelakaan Sepeda, Ganjar Langsung Cek Kamar, Ada Apa?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Berita Terkini

Gagasan berdirinya Indonesia

Gagasan Inti Berdirinya Indonesia

7 Agustus 2025
Memiskinkan republik lewat statistik

Memiskinkan Republik Lewat Statistik

7 Agustus 2025
PPP selamat dengan empat tokoh ini

Empat Tokoh Kompak, PPP Bisa Selamat

7 Agustus 2025
Political Leadership Camp Golkar Kota Semarang

Waketum AMPI Pusat Apresiasi Political Leadership Camp Golkar Kota Semarang, Bukti Adaptif Zaman

7 Agustus 2025
Yudhie Haryono (kiri) dan Agus Rizal (kanan)

Swasta Dalam Sistem Ekonomi Pancasila

6 Agustus 2025
Foto Tony Rosyid Versi AI

Mencari Kandidat Ketum PPP 2025-2030

5 Agustus 2025
Gagasan berdirinya Indonesia

Gagasan Inti Berdirinya Indonesia

7 Agustus 2025
Memiskinkan republik lewat statistik

Memiskinkan Republik Lewat Statistik

7 Agustus 2025
PPP selamat dengan empat tokoh ini

Empat Tokoh Kompak, PPP Bisa Selamat

7 Agustus 2025
  • Iklan & Promosi
  • Redaksi
  • Kirim Tulisan
  • Info Loker

© 2025 Dikembangkan oleh Tim IT Harian Semarang

No Result
View All Result
  • Beranda
  • News
    • Internasional
    • Nasional
    • Regional
    • Pantura Raya
    • Soloraya
    • Wonogiri
  • Pendidikan
  • Hukum
  • Politik
  • Agama
  • Ekonomi
  • Gaya Hidup
    • Kesehatan
    • Kuliner
    • Olahraga
    • Sport
    • Ragam
    • Seni Budaya
    • Sosialita
    • Teknologi

© 2025 Dikembangkan Oleh Devisi IT Harian Semarang