Oleh Muhammad Husni Mushonifin
Aktivis PMII Kota Semarang
Geopolitik, geoekonomi, geostrategi, sejatinya kita hanya berbicara kepentingan. Dan untuk mempermudah mengikuti arus kepentingan politik dunia, maka ikuti saja arus keterbutuhan pasar dan lahan eksploitasi dari negara-negara maju. Tapi bukan perkara mudah untuk membaca arus itu, karena akan ada banyak virtual reality yang melingkupinya.
Sekarang kita bicara Indonesia, tidak bisa kita bicara tentang indonesia hanya membaca sumber dari dalam saja. Kenapa demikian? Karena jelas, berdirinya indonesiapun ada peranan kepentingan global di sana. Sampai-sampai KH. Hasyim Wahid pernah bilang “Nama indonesia adalah pemberian dari bastian, orang jerman.”
Bicara sejarahnyapun penuh dengan arus kepentingan global. Coba tebak kenapa di awal-awal 1900-an banyak sekali muncul gerakan-gerakan nasionalisme, muncul organisasi-organisasi nasionalisme yang di gawangi oleh intelektual-intelektual pribumi yang alumni luar negeri. Pada waktu itu muncul Boedi Oetomo, PKI, Sarekat Dagang Islam, dll. Di sana terlihat jelas, pendiri organisasi-organisasi itu adalah alumni politik etis. Mereka mendapat pendidikan di era politik etis.
Tentu kepentingan ini tidak muncul begitu saja. Belandapun tidak punya agenda apa-apa untuk alumni-alumni ini. Tapi secara etis dan psikologis hal ini punya pengaruh tidak langsung terutama dalam hal pola pikir dan orientasi gerakan. Jelas kan, kenapa gerakan nasionalisme saat itu sangat kental dengan nuansa revolusi ala eropa. Termasuk gerakan feminisme yang mayoritas terpengaruh oleh barat.
Maaf saya tidak bisa menjelaskan lebih lanjut mengenai hubungan politik etis dengan kepentingan politik praktis masakini. Tapi efek sejarahnya sangat terasa, pengetahuan yang selama ini kita impor dari barat telah menciptakan gaya berfikir modern (ala barat tentunya) yang kemudian bertransformasi menjadi gaya hidup yang saat ini kita “nikmati”.
Gaya berfikirnya telah hilang, yang berkembang pesat adalah perilaku yang mengkopi ala barat. Termasuk perilaku intelektualnya, coba sebut gaya intelektual apa yang tidak kebarat-baratan, hukum misalnya, ekonomi, politik, sosial, termasuk gaya aktivismenya.
Apalagi jika kita melihat gaya hidup yang lebih hedonis semisal. Gaya berpakaian, pola hidup, fasilitas hidup, dan apapun, semuanya ala barat. Walaupun produknya buatan dalam negeri, tetap saja gayanya kebarat-baratan. Ini yang menjebak mentalitas kita hanya ada di daratan tidak mampu mengarungi badai samudra, bahasa inggrisnya INLANDER.
Keterjebakan mental ini yang membuat masyarakat indonesia kini sulit melepaskan diri dari kepentingan geopolitik global yang di perankan oleh negara-negara maju. Mentalitas ini yang menjerumuskan kita kedalam kubangan hegemoni.
Dus, begitupun dengan sistem demokrasi yang sekarang kita anut. Ini produk barat to? Apa yang di hasilkan oleh sistem demokrasi? Pasti ada ding, tapi apa dan bagaimana? Cuma menghasilkan pemilu yang di penuhi dengan money politik. Kita hanya mengikuti gayanya saja, dan hanya sebatas itu saja.
Lebih parah, menurut Edward Said, barat adalah subjek (yang memproduksi), dan timur, kita ini adalah objek (yang mengkonsumsi). Atau boleh di bilang, barat yang memimpin kita yang mengikuti.
Oke, sementara saya masih yakin yasinan, tahlilan, dan maulidan adalah senjata ampuh untuk meminimalisir hegemoni barat.