Oleh Akhmad Alwin Kamal
Penulis asal Bruno Purworejo dan Mahasiswa Jurusan Manajemen Dakwah UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta
Sedekah Bumi upacara adat yang melambangkan rasa syukur manusia terhadap Tuhan Yang Maha Esa yang telah memberikan rezeki melalui bumi berupa segala bentuk hasil bumi. Upacara ini sebenarnya sangat populer di Indonesia, khususnya di Pulau Jawa. Mereka percaya bahwa pada tiap-tiap segala sesuatu yang menyangkut hajat hidup manusia dikuasahi dan di jaga oleh dewa-dewa “zat yang mbahurekso”.
Dengan keyakinan atas adanya dewa dan zat yang mbahurekso tersebut ditunjukkan dengan adanya penyiapan sesaji di tempat-tempat yang mereka percayai. Dengan begitu mereka berharap terhindar dari malapetaka alam yang murka dan kemudian mencapai hasil-hasil usahanya. Kemudian pengaruh Islam masuk ke Nusantara sekitar abad ke 13 dan Islam masuk ke tanah Jawa sekitar seperempat akhir abad ke 15, oleh Wali Songo tradisi atau ritual menyembah dewa-dewa ini tidak serta merta dihapus dari tengah-tengah masyarakat Jawa.
Bahkan, Walisongo memanfaatkan kearifan lokal ini sebagai media dakwah untuk menyampaikan Islam yang efektif. Pendekatan budaya seperti inilah pada kenyataannya membuat Islam lebih mudah diterima di kalangan masyarakat jawa. Karena menyembah selain Allah SWT. merupakan hal yang diharamkan oleh agama Islam, maka sesembahan kepada dewa-dewa pada masa pra Islam tidak dibuang sama sekali, tetapi diubah subtansinya. Dari upacara dan ritual menaruh sesaji di tempat-tempat yang dipercaya di tunggui para dewa dirubah menjadi upacara dalam bentuk dan format baru yang kita kenal dengan sedekah bumi.
Sedekah Bumi pada masa Walisongo diselenggarakan di tempat-tempat pusat dakwah Islam, seperti keraton, masjid dan alun-alun. Sedekah bumi yang asalnya ritual menyembah para dewa-dewa dirubah oleh wali songo menjadi ritual/upacara mengirim doa kepada para arwah leluhur. Ada yang memaknai upacara sedekah bumi ini sebagai upacara bersedekah memberi makan kepada sesama dan mengirim doa kepada Abu ( bapak ) dan Umi ( ibu) yang telah meninggal dunia, Bumi dari penggalan “Abu “ dan “ Umi “ dan bukan bersedekah kepada tanah/ bumi, pendapat ini juga sah-sah saja merujuk kepada asal-usul sedekah bumi yang digagas oleh para wali songo dan diteruskan oleh para pendahulu kita.
Menurut cerita dari para nenek moyang orang jawa terdahulu, “Tanah itu merupakan pahlawan yang sangat besar bagi kehidupan manusia di muka bumi. Maka dari itu tanah harus diberi penghargaan yang layak dan besar. Dan ritual sedekah bumi inilah yang menurut mereka sebagai salah satu simbol yang paling dominan bagi masyarakat jawa khususnya para petani dan para nelayan untuk menunjukan rasa cinta kasih sayang dan sebagai penghargaan manusia atas bumi yang telah memberi kehidupan bagi manusia”. Sehingga dengan begitu maka tanah yang dipijak tidak akan pernah marah seperti tanah longsor dan banjir dan bisa bersahabat bersandingan dengan masyarakat yang menempatinya.
Selain itu, sedekah bumi dalam tradisi masyarakat jawa juga merupakan salah satu bentuk untuk menuangkan serta mencurahkan rasa syukur kepada Tuhan YME atas nikmat dan berkah yang telah diberikan-Nya. Sehingga seluruh masyarakat jawa bisa menikmatinya. Sedekah bumi pada umumnya dilakukan sesaat setelah masyarakat yang mayoritas masyarakat agraris habis selesai panen raya. Sebab tradisi sedekah bumi hanya berlaku bagi mereka yang kebanyakan masyarakat agraris dan dalam memenuhi kebutuhannya dengan bercocok tanam. Meskipun tidak menuntut kemungkinan banyak juga dari masyarakat nelayan yang juga merayakannya sebagai bentuk rasa syukurnya kepada tuhan, yang menurut para nelayan disebut dengan sedekah laut. Itu sebagai bentuk rasa sukur masyarakat nelayan kepada tuhan sebab mereka bisa melaut dan mengais rizqi di dalamnya.