Ilustrasi |
Kudus, Harianjateng.com – Andalan Petani Tebu Rakyat Indonesia (APTRI) mempertanyakan dasar penentuan kebutuhan impor raw sugar (gula mentah) yang ditetapkan sebanyak 381.000 ton karena dikhawatirkan akan merugikan petani.
“Ketika impor raw sugar direalisasikan, kami khawatir stok gula tahun 2016 justru melebihi kebutuhan dan dampaknya harga gula turun,” ujar Sekretaris Jenderal Dewan Pimpinan Nasional APTRI M Nur Khabsyin di Kudus, Minggu (22/5/2016).
Pernyataannya itu, kata dia, sesuai dengan kesimpulan pada saat APTRI menggelar sarasehan persiapan giling tebu di Graha Kebon Agung, Surabaya pada Jumat (20/5/2016).
Selain kehawatiran stok gula akan melimpah, kata dia, pada awal tahun 2016 juga ada impor gula PPI sebanyak 200.000 ton. Padahal, kata dia, neraca gula tahun 2016 sampai saat ini belum ditetapkan sehingga belum diketahui adanya kekurangan gula pada tahun 2016.
Taksasi produksi gula pada musim giling tahun 2016, kata dia, secara riil baru diketahui sekitar bulan Agustus 2016, ketika memasuki puncak musim giling, sehingga akan diketahui stok gula cukup atau tidak.
Kebijakan impor raw sugar dengan dalih sebagai kompensasi agar PT Perkebunan Nusantara (PTPN) dan PT Rajawali Nusantara Indonesia (RNI) menjamin rendemen minimal 8,5 persen, kata dia, merupakan kebijakan instan dan tidak mendidik. “Pada prinsipnya, para petani sangat mendukung jaminan rendemen 8,5 persen, dengan catatan tanpa embel-embel kompensasi impor raw sugar,” ujarnya.
Menteri BUMN saat berkunjung ke sejumlah pabrik gula, kata dia, juga menyampaikan janjinya bahwa rendemen 8,5 persen tanpa kompensasi impor. Hanya saja, dia kurang sependapat dengan adanya jaminan rendemen karena tidak mendidik petani.
Ia khawatir, petani justru menanam tanaman tebu dengan kualitas seadanya karena bakal dijamin rendemenya. “Bagi pabrik gila juga akan manja memminta impor terus. Sudah ada buktinya Cepiring sekarang bangkrut gara-gara terlalu keenakan menggiling raw sugar,” ujarnya.
Akar masalah rendemen yang rendah, kata dia, salah satunya karena faktor kinerja pabrik gula yang tidak efisien. Pabrik gula yang efisien, kata dia, justru tingkat rendemennya bisa mencapai 8,5 persen lebih.
Menurut dia, untuk mencapai rendemen tinggi, pemerintah perlu memperbaiki kinerja pabrik gula agar lebih efisien. Dasar kebijakan impor raw sugar untuk idle capacity (kapasitas tak terpakai), kata dia, semestinya ketika jumlah produksi gula lebih rendah dibandingkan kebutuhan konsumsi nasional dan pabrik gula kekurangan bahan baku.
Persoalan di lapangan, kata dia, pabrik gula yang tidak efisien akan ditinggalkan petani sehingga praktis kekurangan tebu. “Lebih baik pabrik gula yang tidak efisien itu direvitalisasi total, bukannya menggiling raw sugar,” ujarnya.
Keuntungan dari hasil mengolah raw sugar bagi pabrik gula yang tidak efisien, katanya, akan habis untuk menjamin rendemen kepada petani. Untuk itu, kata dia, keuntungan mengolah raw sugar tidak mungkin bisa digunakan untuk merevitalisasi pabrik gula.(Red-HJ99/Ant).