Oleh M Yudhie Haryono
Direktur Eksekutif Nusantara Centre
Khalifah Umar bin Khattab pernah berkata, “Tiada Islam tanpa jamaah, tiada jamaah tanpa kepemimpinan dan tiada kepemimpinan tanpa ketaatan.” Karena itu proklamasinya adalah, “kami Islam maka kami memimpin dan kami memimpin maka kami Islam.”
Dus, tak ada Islam tanpa struktur kepemimpinan: tak ada Islam tanpa barisan. Tema ini meneruskan kultum ke-17 soal tema pokok dalam Alquran: kepemimpinan. Bagaimana tema itu kita pahami? Mari kita cek satu persatu.
Kepemimpinan dalam Islam pada dasarnya berisiko tinggi (hight risk), tetapi bernilai tinggi (high values). Hal itu karena Islam memberikan penghargaan setinggi-tingginya kepada para pemimpin adil, sambil melarang pemimpin zalim. Al-Ghazali secara pejoratif mengatakan, “pemimpin yang adil sehari, lebih baik dari beribadah selama 70 tahun.”
Itulah hipotesa kepemimpin dlm islam. Terlebih, Lekmad pernah berkata, ”kullu kum rain wa kullukum mas’ulun anraiyathi” (tiap manusia adalah pemimpin dan akan dimintai pertanggungjawaban di akhirat kelak).
Tema ini tersebar dlm berbagai surat dlm Alquran. Misalnya, QS. Albaqarah: 30; An-Nisa: 58-59, 135-139, 144; Al-Anbiya: 73; As-Sajdah: 24; Al-Maudah: 8, 80-81; Shad: 26; Al-Mumtahanah: 1; At-Taubah: 23; Ali-Imran: 28, 149-150; Al-Maidah: 51-57; Al-Ahzab: 67.
Tafsir terbaik dari ayat-ayat itu adalah pribadi Muhammad. Doi adalah pemimpin yang sangat dihormati, tidak sombong, tidak bergelimang dan gila harta, serta selalu dekat dengan para pengikutnya. “Sesungguhnya telah ada pada Muhammad itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah di hari kiamat” (QS. Al-Ahzab: 21).
Kepemimpinannya berakhlak mulia mencontohkan empat sifat yang harus dimiliki oleh seorang pemimpin, yaitu sidiq, amanah, fathonah, dan tabligh.
Yang jelas kini kita defisit pemimpin publik yang berdentum dan meraksasa. Kini, gagasan kepemimpinan menjadi sangat penting karena tiga hal. Pertama, menurunnya posisi ummat dlm percaturan global. Kedua, lemahnya kepemimpinan nasional di depan oligark. Ketiga, devisit kepemimpinan agensi yang holistik. Tiga hal ini membuat kita perlu memastikan reorientasi kepemimpinan.
Jika kita ingin ummat memiliki posisi dan masa depan yang canggih, tak ada pilihan kecuali melahirkan pemimpin yang visioner (cerdas), berdisiplin, berintegritas, peduli (blusukan) dan rendah hati. Kelima prinsip itu harus beraksiologi revolusioner, progresif, kritis dan menzaman.
Ia harus punya gagasan besar dan kharismatik serta menyempal dari keumuman (crank). Padanya ada sikap anti-status quo, anti-feodal, anti-kapital dan anti-sex. Yaitu pribadi yang tidak menyembah kursi, umur, dollar, dan lawan jenis.
Tanpa kepemimpinan yang bervisi dan meraksasa, kita tak pantas menyebut diri islam. Terlebih, orang lemah takut memimpin. Orang biasa takut dipimpin. Orang kuat siap berbaris menjadi pasukan: siap memimpin dan sedia dipimpin.
Kini, di antara kawan-kawan muslimku, kudapati yang pertama dan kedua tapi yakin merasa islam. Jenis orang ketiga makin langka. Hampir habis. Apalagi kini di bulan puasa.(*)