Oleh: Harry Setya Nugraha
Peneliti Pusat Studi Hukum Konstitusi Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia/ Mahasiswa Magister Hukum Universitas Islam Indonesia
Meskipun upaya pencegahan dan pemberantasan terorisme telah ditingkatkan dengan diundangkannya Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2013 Tentang Pencegahan Dan Pemberantasan Tindak Pidana Pendanaan Terorisme, namun tindakan radikal yang berujung pada aksi terorisme di Indonesia masih terjadi hingga saat ini.
Di tahun 2016 saja, data mencatat setidaknya terjadi 2 kali aksi teror yang menelan korban jiwa dan luka-luka. Aksi teror pertama terjadi di jalan Thamrin Jakarta pada 17 Januari 2016 dan aksi teror kedua terjadi di markas Polres Kota Surakarta pada 5 Juli 2016 lalu. Hal tersebut lantas membuat DPR mengambil langkah strategis dengan mempercepat pembahasan revisi undang-undang terorisme yang sebelumnya diusulkan oleh pemerintah.
Semula poin penting pembahasan revisi undang-undang tersebut hanya meliputi beberapa hal. Seperti soal perluasan definsi terorisme dan kekerasan, pemisahan sel narapidana terorisme, pencabutan status kewarganegaraan dan paspor bagi WNI yang pernah mengikuti latihan terorisme, memberi payung hukum terhadap upaya deradikalisasi, penambahan masa penahanan selama masa penyelidikan atau penyidikan, hingga pemberian persetujuan alat bukti terkait dengan terorisme yang semula harus diberikan.
Namun seiring berjalannya proses pembahasan, hal menarik justru terjadi ketika muncul sebuah wacana pelibatan TNI dalam upaya pemberantasan terorisme. Tak ayal wacana tersebut segera direspon oleh masayarakat dengan berbagai tanggapan. Sebagian kalangan sependapat, sebagian lainnya justeru menolak dengan berbagai alasan yang salah satunya adalah kekhawatiran akan terjadinya kekuasaan eksesif yang berujung pada pelanggaran HAM.
Keterlibatan TNI dipertanyakan
Pada dasarnya, usulan untuk melibatkan TNI dalam pemberantakasn terorisme tidak terlepas dari keberhasilan Satgas Tinombala dalam melumpuhkan Abu Wardah alias Santoso yang tidak lain adalah pimpinan teroris Poso dari kelompok Mujahidin Indonesia Timur (MTI) yang disinyalir menjalin hubungan dengan Islamic State-ISIS. Sebagaimana diketahui bahwa Satgas Tinombala merupakan tim khusus beranggotakan TNI dan Polri yang sengaja dibentuk untuk melumpuhkan kelompok MTI.
Jika dilihat dari aspek ketatanegaraan, usulan pemberian kewenangan kepada TNI dalam pemberantasan terorisme sebenarnya tidak perlu terlalu dipermasalahkan sepanjang kewenangan tersebut dilaksanakan berdasarkan kebijakan dan keputusan politik negara. Hal ini karena secara yuridis, Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 Tentang Tentara Nasional Indonesia telah memberikan amanat tersebut kepada TNI. Pasal 7 ayat (2) huruf b Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 menyebutkan bahwa tugas pokok TNI dilakukan dengan operasi miter selain perang dalam hal mengatasi aksi terorisme. Pasal 7 ayat (3) disebutkan pula bahwa ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilaksanakan berdasarkan kebijakan dan keputusan politik negara.
Selain itu, jika ditinjau dari aspek filosofispun keterlibatan TNI menjadi suatu keharusan apabila kejahatan terorisme telah berpotensi mengancam keamanan dan kedaulatan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Hal ini karena TNI memiliki tanggung jawab penuh sebagai garda terdepan dalam menjaga keutuhan NKRI sebagaimana disebutkan di dalam Pasal 30 ayat (2) UUD NRI 1945.
Antara Penegakan Hukum dan Perlindungan HAM
Meskipun keterlibatan TNI merupakan suatu hal yang penting dilakukan dan secara ketatanegaraan tidak perlu terlalu dipersoalkan, kekhawatiran terhadap kekuasaan yang eksesif tetap harus diperhatikan. Keseimbangan antara penegakan hukum dan perlindungan HAM harus dijadikan “kiblat” oleh para legislator dalam rangka penyempurnaan undang-undang terorisme.
Guna menjaga keseimbangan tersebut, pembagian tugas dan kewenangan yang jelas antara TNI dan POLRImenjadi harga mati yang harus difikirkan oleh para pembuat undang-undang. Dengan kata lain, pembuat undang-undang dituntut agar bagaimana caranya kewenangan antara TNI dan POLRI tidak saling tumpang tindih dalam melaksanakan tugasnya. Jauh lebih penting dari hal tersebut adalah bagaimana caranya agar kewenangan pemberantasan terorisme tidak berujung pada tindakan yang justru merugikan banyak pihak.
Sebagai contoh, TNI tetap bersifat backup meskipun kewenangan pemberantasan terorisme diatur di dalam undang-undang terorisme hasil revisi. Kedua, keterlibatan TNI harus atas koordinir POLRI karena bagaimanapun tugas utama pemberantasan terorisme ada di tangan POLRI. Ketiga, dalam hal pencegahan, TNI tidak perlu dilibatkan karena dikhawatirkan melampaui tugas dan kewenangan yang dimilikinya sebagai angkatan bersenjata. Sehingganya, TNI dilibatkan hanya dalam misi-misi tertentu yang sifatnya merupakan upaya represif. Serta keempat yang paling penting adalah TNI tidak boleh menggunakan pendekatan militer dalam upaya pemberantasan terorisme karena hal tersebut justeru akan bertentangan dengan konsepsi HAM.
Optimalisasi Deradikalisasi
Meskipun rencana pelibatan TNI dapat dikatakan sebagai strategi baru dalam upaya memberantas teroris, konsep deradikalisasi sebagai upaya preventif pemberantasan terorisme tentu tidak boleh dilupakan dan justeru harus terus ditingkatkan. Sebagaimana diketahui, deradikaisasi dimaknai sebagai terapi dalam penanggulangan aksi-aksi kekerasan, teror dan radikalisme yang melibatkan berbagai pihak di dalamnya. Tidak hanya polisi dan aparat keamanan lainnya, tetapi juga melibatkan seluruh kementrian, lembaga negara, dan yang paling terpenting adalah civil society (perguruan inggi, ulama, tokoh masyarakat hingga institusi dasar dan terkecil dalam sistem sosial yaitu keluarga). (Zul Qodir: 2014). Caranya adalah dengan memperluas dan memperdalam pemahaman yang sempit (eksklufis) serta membuat pemahaman yang sifatnya subyektif individual menjadi lebih obyektif sehingga konstruktif secara sosial dan kultural.
Sebab bagaimanapun, tewasnya pimpinan teoris tidak lantas menjamin bahwa tindakan-tindakan terror tersebut akan lenyap. Namun sebaliknya, kembalinya pemahaman anggota-anggota gerakan teroris kearah yang benar, secara perlahan akan membuat kuantitas garakan-gerakan tersebut mengalami penuruhan. (*).