Oleh: Despan Heryansyah
Penulis merupakan Mahasiswa Program Doktor Fakultas Hukum UII YOGYAKARTA dan Peneliti pada Pusat Studi Hukum Konstitusi (PSHK) Fakultas Hukum UII)
Jum’at 29 Juli 2016 pekan lalu, bangsa Indonesia kembali berduka, nama baik Indonesia sebagai negara multikultural paling toleran juga tercoreng, predikat daerah Sumatera Utara sebagai barometer toleransi pun ternoda. Kekerasan kembali terjadi dibeberapa desa di daerah Sumatera Utara, lagi-lagi objek kekerasan adalah rumah ibadah. Kita patut bersedih dan terkejut, karena setidaknya Provinsi Sumatera Utara adalah salah satu provinsi yang sangat multikultur dengan tingkat toleransi yang cukup baik. Peristiwa ini juga terjadi di tengah gencarnya pemerintah dan beberapa ormas keagamaan meneriakkan (baca mensosialisasikan) akan pentingnya toleransi, hal ini seperti menandakan bahwa agenda sosialisasi itu tidak menyentuh akar permasalahan.
Sebagai negara yang menjunjung tinggi Pancasila, sejatinya segala bentuk kekerasan apapun alasanannya, siapapun pelakunya tidak dapat dibenarkan. Secara tersurat Pencasila telah menggambarkan bahwa negara Indonesia selain negara yang berketuhanan juga adalah negara yang menjunjung tinggi kemanusiaan yang adil dan beradab, yang dalam bahasa Bung Karno disebut Internasionalisme. Kemanusiaan yang beradab menghendaki agar seluruh rakyat Indonesia menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan, tidak memandang derajat manusia dari pilihan agamanya, warna kulitnya, sukunya, dan lain sebagainya, tetapi siapapun dia di muka bumi ini selagi wujudnya sebagai manusia maka melekat dalam dirinya nilai kemanusiaan yang wajib dijunjung tinggi. Hal ini dijamin oleh pancasila.
Akar Masalah
Kekerasan berupa pembakaran dua rumah ibadah yang berujung pada kematian dua orang pemeluk agama, sesungguhnya tidak terjadi serampangan begitu saja. Telah ada terlebih dahulu aktifitas-aktifitas yang memicu ke arah munculnya konflik itu, baik secara nyata dalam masyarakat maupun dalam dunia maya. Oleh karena itu, seharusnya pemerintah dapat dengan segera mendeteksi hal ini dan melakukan upaya untuk mencegahnya. Negara tidak hanya memiliki aparatur pemerintah yang sampai pada tingkat kecamatan, desa atau kelurahan, namun juga memiliki Badan Intelejen Negara (BIN) yang secara khusus mendeteksi info-info mencurigakan dalam NKRI, serta koordinasi kepolisian yang sampai pada tingkat Babinsa. Belum lagi koordinasi kementrian agama yang juga seharusnya memegang peranan penting dalam menjaga kerukunan antar umat beragama. Namun semua komponen ini tidak bekerja dengan baik, sehingga kekerasan tidak dapat dihindarkan. Bagaimana mungkin, dengan keorganisasian yang begitu lengkap, tapi hal yang seperti ini tidak terdeteksi.
Dalam hal ini, rasanya relevan kita mengaitkannya tesis yang dikemukakan oleh seorang pakar demokrasi asal Jepang yang berdomisili di AS, Francis Fukuyama. Dalam bukunya yang dirilis tahun 2004, Francis Fukuyama mengenalkan dan menjelaskan istilah “negara lemah”. Neraga lemah adalah suatu kondisi di mana negara yang meskipun dianggap sebagai organisasi tertinggi dalam masyarakat tetapi tidak memiliki otoritas atau kemampuan untuk mengkoordinir masyarakatnya. Kekerasan dalam masyarakat, apapun bentuknya bukanlah hal ikhwal yang berdiri sendiri. Peristiwa itu merupakan gejala politik di mana negara sebagai intsitusi terpenting dalam masyarakat gagal menjalankan perannya. Peran negara sejatinya adalah menjamin bahwa hukum dan kebijakan yang dilahirkannya ditaati oleh masyarakat, jika negara tidak mampu menjaga otoritas semacam ini, ia disebut sebagai negara lemah.
Barangkali tidak berlebihan memposisikan negara Indonesia dalam posisi ini, kekerasan atas nama sara yang terus terjadi, korupsi, narkoba, dan berbagai bentuk tindak pidana lainnya setidaknya menjadi bukti bahwa secara the facto Indonesia adalah negara lemah. Peran negara terus dipertanyakan karena memang negara yang memiliki tangguang jawab besar untuk mewujudkan cita-cita bangsa ini. Cukup progresif apa yang dilakukan oleh Polri dengan segera memburu dan menetapkan 7 orang tersangka atas kekerasan di Sumatra Utara ini, tetapi apakah tindakan tersebut menyelasaikan masalah? Seberapapun banyak tersangka yang ditangkap lalu diperjarakan, masalah kekerasan sara ini tidak akan selesai jika negara terus berdiam diri. Akhirnya, ada kata bijak yang patut menjadi renungan kita bersama, “mereka yang bukan saudaramu dalam iman, adalah saudaramu dalam kemanusiaan”.