Oleh Harry Setya Nugraha, S.H
Peneliti Pusat Studi Hukum Konstitusi FH UII dan Mahasiswa Magister Hukum UII Yogyakarta
Belum lama ini, pemerintah berencana untuk memperketat syarat pencalonan dalam proses pemilu legislatif tahun 2019. Menariknya, upaya tersebut dikhususkan bagi kalangan artis yang akan atau telah terjun di dunia politik. Apabila wacana tersebut disambut baik oleh DPR, praktis pelaksanaan pemilu legislatif 2019 nantinya tidak akan lagi diramaikan oleh kontestan yang berlatar belakang artis seperti halnya pada pemilu legislatif 2014 lalu.
Rencana pemerintah untuk membatasi keikutsertaan artis dalam kontestasi pemilu legislatif 2019 bukan tanpa alasan. Selain dikhawatirkan hanya merupakan cara partai politik untung mendomplang suara, faktor produktifitas anggota legislatif yang berlatar belakang artis juga merupakan alasan utama yang menyebabkan pemerintah berinisitif untuk membatasi keikutsertaan artis dalam kontestasi pemilu legislatif 2019.
Saat ini, tercatat ada setidaknya sebanyak 15 artis yang terpilih sebagai anggota DPR dari hasil pemilu legislatif pada tahun 2014. Beberapa di antaranya merupakan wakil rakyat petahana yang kembali lolos ke Senayan. Ada pula yang beruntung langsung menjadi anggota legislatif meski baru memulai karier politik.
Terlepas dari alasan tersebut, ada hal yang sebenarnya harus dijawab oleh pemerintah. Sudahkah pemerintah melakukan riset secara obyektif tentang kinerja caleg artis selama ini? Tidakkah pembatasan tersebut merupakan bentuk penghianatan terhadap prinsip-prinsip pemilu yang demokratis? Dan tidak pulakah pembatasan tersebut merupakan bentuk pelanggaran terhadap hak konstitusional warga negara yang dijamin di dalam konstitusi?
Tulisan ini tidak dimaksudkan untuk mendeskriditkan upaya pemerintah dalam meningkatkan kualitas anggota legislatif kedepannya. Namun lebih kepada agar bagaimana upaya tersebut dapat dilakukan dengan cara yang benar. Jangan sampai niat baik tersebut justru berakibat pada dikesampingkannya prinsip-prinsip pemilu yang demokratis serta berujung pada terlanggarnya hak-hak warga negara.
Berkenaan dengan hakekat pemilu yang demokratis, perlu diketahui bahwa salah satu instrumen penting guna terwujudnya pemilu yang demokratis adalah terbukanya peluang yang sama bagi warga negara untuk mencalonkan dirinya sebagai kontestan pemilu. Apabila terdapat suatu batasan atau larangan bagi warganegara untuk mencalonkan diri yang itu tidak sesuai dengan konsep pembatasan hak sebagaimana diatur di dalam konstitusi, tentu hal tersebut merupakan bentuk pengkhianatan terhadap nilai-nilai pemilu yang demokratis.
Pasal 28D UUD NRI 1945 telah menyebutkan bahwa setiap warga negara berhak memperoleh kesempatan yang sama dalam pemerintahan. Agar setiap hak tersebut tidak disalahgunakan, konstitusi kemudian memberikan batasan didalam Pasal 28 J ayat (2) UUD NRI 1945. Dikatakan bahwa dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan-pembatasan yang ditetapkan dengan UU dengan maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai pertimbangan moral, nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam masyarakat demokratis.
Dalam konteks pemilu legislatif, pembatasan tersebut kemudian diejawantahkan dalam Pasal 51 UU No. 8 Tahun 2012 tentang Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD dan Dewan DPRD. Salah satu point dari UU tersebut menyebutkan bahwa calon legislatif dilarang berpraktik sebagai akuntan publik, advokat/pengacara, notaris, pejabat pembuat akta tanah (PPAT), atau pekerjaan penyedia barang dan jasa yang berhubungan dengan keuangan negara serta pekerjaan lain yang dapat menimbulkan konflik kepentingan dengan tugas, wewenang, dan hak sebagai anggota DPR, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Kemudian pertannyaannya adalah, apakah pekerjaan sebagai seorang artis dapat dikategorikan sebagai “pekerjaan lain yang dapat menimbulkan konflik kepentingan dengan tugas, wewenang dan hak sebagai anggota DPR” sehingga perlu untuk dibatasi?
Alternatif
Pada dasarnya, permasalahan lembaga legislatif saat ini tidak saja berkenaan dengan tidak produktifnya para anggota khususnya yang berlatar belakang artis. Terlibatnya para anggota dalam kasus-kasus hukum seperti korupsi merupakan masalah yang jauh lebih serius dari hal tersebut. Sejak dilantik pada 1 Oktober 2014 lalu, setidaknya tercatat sudah 7 orang anggota DPR yang diduga terlibat dalam perkara korupsi.
Akar dari permasalahan tersebut menurut penulis bukan terletak pada lemahnya persyaratan calon legislatif sehingga perlu diperketat dengan melakukan pembatasan-pembatasan. Melainkan pada gagalnya partai politik dalam melaksanakan fungsi rekruitment politik dan lemahnya pengawasan partai terhadap kader-kadernya yang duduk di kursi legislatif.
Oleh karena itu, salah satu alternatif solusi yang menurut penulis dapat dilakukan untuk meningkatkan kualitas anggota legislatif sekaligus memperbaiki kinerja lembaga legislatif kedepannya adalah dengan mendorong partai politik untuk melakukan revitalisasi terhadap fungsi rekruitment politik. Kedepan, partai politik dituntut untuk lebih selektif dalam melakukan penjaringan terhadap kader-kader terbaiknya yang akan didelegasikan sebagai kontestan pemilu, mulai dari persyaratan, bekal pendidikan politik, integritas, hingga komitmen calon legislatif untuk mengabdi pada negara.