Zamhuri |
Kudus, Harianjateng.com – Belum lagi selesai polemik mengenai isu menaikkan harga rokok kretek Rp. 50 ribu per bungkus, kini isu baru terkait kretek muncul lagi, yakni memasukkan ‘’bahaya rokok’’ dalam kurikulum pendidikan dasar.
Tak tanggung-tanggung, isu tersebut digulirkan oleh Prof. Dr. Muhajir Effendy M.AP., Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia (Mendikbud RI) pada Kabinet Kerja Presiden Joko Widodo (Jokowi) yang menjabat sejak 27 Juli 2016 lalu.
Peneliti Pusat Studi Kretek Indonesia (Puskindo) Universitas Muria Kudus (UMK), Zamhuri, menilai wacana yang digulirkan Mendikbud sangat stigmatif dan diskriminatif. ‘’(Kebijakan-red) yang dibutuhkan, jika itu berkaitan dengan makanan dan minuman, adalah menginventarisasi jenis-jenis makanan dan minuman apa saja yang dinilai berbahaya,’’ katanya.
Dia mengemukakan, mulai dari jajanan anak-anak dan aneka macam lainnya yang terkait dengan makanan dan minuman, diinventarisasi dari A sampai Z. Baru kemudian dilakukan kajian, lalu dikodifikasi dalam sebuah buku. Setelah itu, baru bisa diketahui, mana saja yang berbahaya,’’ jelasnya.
Tetapi yang dilakukan Mendikbud melalui wacana yang dilontarkan ke publik, lanjutnya, tak lebih sebagai upaya penggiringan opini. ‘’Kesimpulan rokok (kretek) di Indonesia berbahaya, masih kontradiktif. Itu baru simpulan dari rezim kesehatan. Padahal kretek mesti dikaji dari berbagai aspek sebelum memvonis,’’ tegasnya.
Karena itulah, wacana memasukkan materi bahaya rokok dalam kurikulum sekolah dasar oleh Mendikbud, dinilai kurang bijaksana. ‘’Yang terkait dengan kretek itu banyak sekali, mulai dari pertanian, perdagangan, tenaga kerja, budayanya, hingga penerimaan negara dari cukai,’’ katanya.
Lebih lanjut anggota Koalisi Nasional Penyelamatan Kretek (KNPK) ini juga tidak sepakat dengan adanya pandangan yang menyatakan rokok kretek sebagai ‘pintu masuk’ seseorang memakai narkoba.
‘Kalau rokok kretek dianggap sebagai pintu masuk ke narkoba, apakah ada data bahwa para kiai perokok itu mengonsumsi apalagi menjadi pengedar narkoba? Harus dipahami, bicara kebijakan itu harus berdasar padascience, jangan prasangka,’’ tuturnya.
Erik Aditia Ismaya, dosen Program Studi Pendidikan Guru Sekolah Dasat (Prodi PGSD) Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan (FKIP) UMK, secara pribadi juga tidak sepakat jika ada kebijakan memasukan materi bahaya rokok di kurikulum sekolah dasar, dengan dalih bagian dari program pembentukan karakter.
‘’Kalau ini dikatakan sebagai bagian dari program pembentukan karakter, karakter yang mana? Karakter itu ada banyak. Kretek itu warisan budaya bangsa. Nah, salah satu menghargai budaya juga bagian dari karakter,’’ katanya. (Red-HJ99/Hms).