Semua bermula dari kopi. Semua berakhir dalam cerita. Ini kopi yang bercerita tentangmu: tentang cita-cita sederhana. Ia yang ingin masuki puri hatimu. Ia yang terkejut melihatmu penuh air mata bahagia. Pertanda panen saat kering sungai tak berhenti.
Ia yang ingin hangatkan ruangmu dengan cinta. Ia yang tak ingin engkau merana. Dalam irama kalian berdansa dan terbuai mesra. Mengisahkan kidung kebangkitan. Tertulis milik manusia-manusia.
Ia yang merasa bahwa ekopol mutakhir Indonesia adalah: 1) konsolidasi keserakahan, 2) masifikasi kekuasaan, dan 3) intensifikasi kekayaan. Ia yang mengutip ketikan Aung San Suu Kyi (1990), “Penjara yang sebenarnya adalah rasa takut. Dan, satu-satunya kebebasan yang nyata adalah terbebas dari rasa takut.”
Ia yang menyukai mengutip Stiglitz dari artikel “Washington Consensus: Arah Menuju Jurang Kemiskinan (2002),” bahwa kinerja perekonomian yang baik membutuhkan perdagangan bebas, stabilitas makro dan penerapan kebijakan harga yang tepat, sebagai mantera sesat yang haram diikuti oleh negara-negara postkolonial.
Ia yang memperingatkan kita soal dampak buruk liberalisasi dan program neoliberal dengan mengutip Stiglitz di buku “The Roaring Nineties (Dekade Keserakahan: Era 90-an dan Awal Petaka Ekonomi Dunia),” yang terbit tahun 2006.
Ia yang merekomendasikan dirimu membaca buku “Making Globalizaton Work: Menyiasati Globalisasi Menuju Dunia yang lebih Baik (2006).” Buku tulisan Stiglitz ini mengulas berbagai problem serius yang diidap globalisasi karena hasilkan ketimpangan.
Inilah buku yang berfungsi sebagai peta dalam mewujudkan globalisasi yang bermanfaat bagi semua bangsa-bangsa di dunia dengan cara-cara baru yang radikal untuk mengatasi utang, kemiskinan, pengangguran di negara berkembang.
Buku yang menyarankan reformasi sistem cadangan devisa global untuk mengatasi ketidakstabilan keuangan internasional, perdagangan adil, hak paten, pengelolaan sumber daya, pemanasan global, demokratisasi ekonomi, hingga argumen tentang pentingnya reformasi lembaga-lembaga keuangan dunia.
Ia yang suka mengutip Tan Malaka, “bila suatu negara tergantung pada investasi asing, utang (luar dan dalam) dan duit para bankir untuk membangun, maka investorlah dan bukan pemerintah yang berkuasa. Sebab, modal tidak mengenal nasionalisme, para investor tidak memiliki patriotisme, negara tidak akan membela rakyat. Para pejabat pemerintah menjadi budak investor. Dan, satu-satunya tujuan investor adalah keuntungan.”
Ia yang mengirimimu surat cinta. Kasih, kubisikin sesuatu: Di sini pentingnya kesadaran semesta. Berbasis kejeniusan nusantara. Bersandar peradaban atlantik. Berbekal buku demi pancasila demi indonesia.
Ia yang ingin mati di sisimu dengan senyum.
Yudhie Haryono