Oleh Muhammad Faizul A’la – Santri MUS Sarang (1 Tsanawiyyah MGS)
Roghib Al Isfahani, ahli bahasa, tafsir, dan etika Islam dari Isfahan, Iran, menjelaskan etika interaksi sosial dalam bukunya “Adabul Ikhtilat Bin Nas”. Roghib mengutip Hadis Nabi yang menyatakan bahwa dalam Suhuf (lembaran) Ibrahim terdapat ajaran bahwa manusia yang masih normal akalnya harus membagi waktunya untuk berfikir (intelektual), kontemplasi (psikis), munajat kepada Tuhannya (spiritual), dan melakukan aktivitas-aktivitas pribadi lainnya (fisik-biologis). Selain itu, manusia juga tidak akan lepas dari hubungan dengan orang lain untuk memenuhi seluruh kebutuhannya.
Manusia merupakan makhluk interdependent karena semua memiliki kekurangan dan kelebihan. Ibarat tubuh, kita adalah anggota badan yang memiliki peran dan saling membutuhkan. Oleh karenanya, pernah suatu waktu Ibnu Abbas memarahi orang yang berdoa agar Allah jadikan dia tidak lagi membutuhkan manusia (karena ingin fokus pada Tuhannya). Ia berkata “Wahai pemuda, apa yang kau minta kepada Allah tidak lain adalah kematian. Berdoalah untuk dijauhkan dari keburukan-keburukannya karena manusia selamanya akan membutuhkan sesamanya”.
Karena kebutuhan interaksi inilah, Allah memberikan potensi “kasih sayang” pada manusia. Roghib membedakan kasih sayang yang dimiliki manusia (mahabbah) dengan kasih sayang yang dimiliki hewan (Ulfah dan Syaklah). Mahabbah adalah kecenderungan atau keinginan seseorang terhadap apa yang dilihat dan atau yang disangka baik. Sedangkan syaklah atau ulfah pada hewan, merupakan insting belaka. Manusia dapat memancarkan kasih sayang ke semuanya, sedang hewan memiliki insting untuk melindungi kawanan dan kawasannya saja.
Sebagai seorang mukmin, tentu kita harus menyadari potensi ini. Roghib mengutip hadits nabi yang berbunyi :
“المؤمن يأْلَف ويُؤْلَف ولا خير فيمن لا يأْلَف ولا يُؤْلَف”
“Seorang mukmin itu menyayangi dan disayang, tidak ada kebaikan bagi orang yang tidak menyayangi dan tidak disayangi.”
Statement dalam hadits ini mengandung unsur mutual. seorang muslim tidak hanya menyayangi, namun juga mereka perlu untuk disayangi. Mahabbah dalam pemikiran Roghib Al-Isfahani memiliki kontribusi yang signifikan dalam membangun relasi harmonis antar sesama. Seorang mukmin, tidak hanya menerima, tapi juga harus menebarkan cinta kasih kepada orang lain.
Roghib juga mengutip pernyataan Hakim “sebodoh-bodohnya orang adalah yang suka menyendiri. Takutlah menyendiri, karena ada banyak kebaikan dengan berinteraksi dengan orang lain.”
Banyak sekali kesempatan di mana kita dituntut untuk berkumpul dengan orang lain. Berkumpul bisa menjadi wajib, seperti sholat Jumat dan mendatangi majlis-majlis ilmu. Berkumpul dengan orang lain bisa jadi sunnah seperti sholat jamaah dan bersilaturahim. Selain itu, kita juga perlu berkumpul untuk mendiskusikan hal-hal akademis maupun keperluan duniawi. Perkumpulan harus memiliki makna dan manfaat. Sehingga, menurut Raghib, perkumpulan yang membawa manfaat lebih baik daripada uzlah atau menyendiri.
Raghib menambahkan bahwa menyendiri di gunung dan gurun merupakan perbuatan tercela. Ia menyalahi tabiat alamiah manusia. Ia termasuk golongan orang-orang yang mati sebelum kematian yang sebenarnya. Ia dianggap menyia-nyiakan potensi yang hanya dimilikinya (tidak dimiliki binatang) seperti, potensi akal, keberanian, pengendalian hawa nafsu, dan sikap adil.
Menyendiri memicu kemalasan. Orang yang menyendiri sangat rentan mendapat bisikan dan godaan syaitan. Terkadang, menyendiri dan kemalasan ini ditutupi dengan alibi “zuhud”. Orang-orang ini seolah olah tidak ada ambisi duniawi. Sifat malas atau zuhud alibi ini merupakan perbuatan keji.
Meskipun demikian, tidak semua orang zuhud itu merupakan buah dari kemalasan. Dapat dikatakan, terdapat dua macam orang zuhud. Pertama, Zuhud atau menyendiri dianggap baik jika ia dapat melatih akhlaknya, mematikan syahwat buruknyanya, dapat memahami dunia dan dapat mengambil pelajaran dari segala kejadian di dalamnya.
Kedua, adalah zuhud tercela. Yaitu Ketika zuhudnya tidak bisa mendidik akhlaknya, tidak melatih nafsunya, dan tidak pula menghasilkan ide atau pemikiran. Zuhud atau menyendiri seperti ini yang merusak. Menyendiri tanpa target spiritual dan intelektual yang jelas, berpotensi membuka bisikan dan godaan setan. Ia justru tampak suci di luar, namun dia diam-diam menuruti hawa nafsunya.
Di zaman yang serba canggih ini, kita dituntut untuk bisa mawas diri. Terkadang, karena teknologi, orang bisa mengasingkan diri dari sekitar. Orang mengira dia zuhud, namun dengan handphone dia bisa berselancar dan berbuat apa saja. Teknologi dan circle kita, bisa saja menjerumuskan kita ke zuhud alibi dan/atau perkumpulan yang tidak bermanfaat. Wallahu a’lam.