Oleh Hasan Aoni
Tidak ada hubungan antara serangga dengan rokok. Tapi, nama-nama binatang itu pernah populer menjadi merek rokok di era pra kemerdekaan dan setelahnya. Ada merek Djangkrik, Entoeng, Tawon, Orong-orong, Klabang, bahkan Goendik (atau “lonte” alias othe-othe, serangga jenis nocturnal, yang berkeliaran di malam hari).
Ada juga nama-nama buah, seperti Djeroek, Mangga, Klapa, Bentoel, Soekoen, Jamboe Bol, Djoewet, Pelem, Blimbing, Tjokak. Merek-merek lain mengambil nama dari golongan reptil, karnivora, sayuran, instrumen musik, alat dapur, sampai golongan hantu.
Di antara nama-nama itu terselip merek yang keluar dari pakem: “Kodok Mangan Ulo”, sebelum kemudian berubah menjadi Djeroek, lalu Djangkar, dan terakhir Bal Tiga. Merek rokok buatan Nitisemitho ini merajai pasar rokok di Indonesia. Ia sampai digelari Kretek-Konning alias Raja Kretek.
“Siapakah para pembayar bandrol rokok (tabbacsaccijn) hingga tiga juta gulden itu?” tanya Ratu Wilhelmina, pada 1933.
Parada Harahap, seorang wartawan, ditugasi menelusuri. Parada mencatat, “Meski Raja Kretek penyumbang devisa terbesar pemerintah kolonial, tetapi Niti dan para pengusaha pribumi diwajibkan duduk berjongkok setiap menghadap pejabat.” Para pengusaha yang mulia di mata ribuan buruhnya diperlakukan seperti kodok yang hina.
Saat VOC jatuh, disusul pemerintahan kolonial Belanda, para pejuang bangkit, dan industri rokok, seperti dicatat S. Margana, menyumbang besar perjuangan kemerdekaan RI. Bahkan saat Belanda ingin merebut kembali Papua, nun jauh jaraknya dari Kudus, setiap buruh menyumbang satu batang rokok untuk para pejuang Mereka, yang sekian abad dianggap kodok, berubah seketika menjadi ular. Keadaan yang digambarkan persis seperti merek rokok Nitisemito, “Kodok Mangan Ulo” (kodok makan ular).
Salam dongeng!
Hasan Aoni