Harian Semarang
No Result
View All Result
Jumat, Juni 13, 2025
  • Beranda
  • News
    • Internasional
    • Nasional
    • Regional
    • Pantura Raya
    • Soloraya
    • Wonogiri
  • Pendidikan
  • Hukum
  • Politik
  • Agama
  • Ekonomi
  • Gaya Hidup
    • Kesehatan
    • Kuliner
    • Olahraga
    • Sport
    • Ragam
    • Seni Budaya
    • Sosialita
    • Teknologi
No Result
View All Result
  • Beranda
  • News
    • Internasional
    • Nasional
    • Regional
    • Pantura Raya
    • Soloraya
    • Wonogiri
  • Pendidikan
  • Hukum
  • Politik
  • Agama
  • Ekonomi
  • Gaya Hidup
    • Kesehatan
    • Kuliner
    • Olahraga
    • Sport
    • Ragam
    • Seni Budaya
    • Sosialita
    • Teknologi
No Result
View All Result
Harian Semarang
No Result
View All Result
Home Pendidikan

Tersesatnya Pendidikan Kita Kini di Empat Lingkaran Setan Ini

20 September 2022
in Pendidikan
Tersesatnya Pendidikan Kita Kini di Empat Lingkaran Setan Ini
0
VIEWS
Share on FacebookShare on Twitter

Oleh M Yudhie Haryono

Zaman kaliyuga. Tandanya, “banyak pemimpin tak punya rekam jejak dan tak punya rasa malu.” Pada zona pendidikan, hal itu terasa sekali. Tanpa punya pikiran, apalagi ucapan dan tulisan, seseorang ditempatkan jadi Mendiknas, dan tanpa rasa malu, ia bangga dan senyum-senyum di kursi itu.

Melawan kaliyuga, penulis buku berjudul Pendidikan Yang Berkebudayaan, coba menerangi dengan semangat pencerahan. Buku yang diterbitkan Gramedia setebal 452 halaman dan berat 650 gram, dengan ukuran 15X23 cm ber-ISBN 9786023571864, dicetak awal pada 05 Oktober 2020.

Fachry Ali mengomentari buku ini dengan menulis, “sumbangan terbesar buku ini adalah susunan argumentasinya yang ‘kokoh’ tentang dasar kebudayaan bangsa. Yaitu frasa tentang Nusantara dan laut yang melingkunginya. Nusantara adalah file tentang ingatan kosmopolitanisme. Sementara lautan adalah sarana atau media globalisme kuno. Saya suka dengan frasa itu karena bisa meringkas (dan menyederhanakan) konsep kebudayaan dalam buku ini.

Dengan ini, Yudi ingin mengatakan bahwa kebudayaan nasional, di samping yang telah berkembang pada tingkat domestik, adalah hasil dialog dengan pihak luar—yang distrukturkan oleh corak geografis bersifat Nusantara dan dikelilingi lautan itu. Dari sini pula, Yudi mendapat perspektif meletakkan pengertian puncak-puncak kebudayaan daerah yang menjadi dasar kebudayaan nasional.”

Para pembaca yang budiman. Dalam gerak pemikiran para peletak dasar sistem sekolah kita, “pendidikan dan kebudayaan merupakan proses kreatif yang tak dapat dipisahkan, ibarat dua sisi dari keping uang yang sama.” Ki Hajar, Syahri dan Hatta pernah menyatakan bahwa apa yang diajarkan dalam proses pendidikan adalah kebudayaan, sedangkan pendidikan itu sendiri adalah proses pembudayaan. Keterkaitan pendidikan dengan kebudayaan juga semakin menemukan relevansinya, karena budaya merupakan faktor penentu keberhasilan (determinant factor) maju atau mundurnya sebuah peradaban bangsa.

Karenanya, berapapun biaya digelontorkan ke pendidikan, jika program itu tercerabut dari kebudayaan pastilah muspro. Pendidikan kita akhirnya jatuh dalam lingkaran liberalisasi, privatisasi, komersialisasi dan komodifikasi. Puncak-puncak dari empat program madzab fundamentalis pasar adalah menunjuk pengusaha (abal-abal) menjadi Mendiknas.

Akibatnya, pendidikan nasional sudah meninggalkan akar-akar sejarah dan kebudayaan bangsa Indonesia. Pendidikannya tidak didasari oleh budaya bangsa. Hasilnya lahir generasi yang tercabut dari kebudayaan bangsanya sendiri. Pendidikannya tidak menyatu dengan kebudayaan sehingga asing dan akan ditinggalkan oleh masyarakatnya sendiri. Padahal, hanya dengan pendidikan yang berakar pada budaya sendiri, maka bangsa ini akan selamat menghadapi masa depan yang penuh dengan ketidakpastian.

Menurut penulis, pendidikan yang berkebudayaan pada hakikatnya adalah pendidikan budi pekerti. Pendidikan moral, etika, mental yang menghasilkan aksiologi keindonesiaan. Merujuk pada gagasan Ki Hajar Dewantara, penulis memaparkan bahwa hakikat pendidikan adalah proses menjadi manusia seutuhnya dengan belajar dari kehidupan sepanjang hayat atau menjadi insan sempurna yang berguna bagi sesama dan semesta.

Dus, jantung pendidikan adalah budi pekerti. Dan, semua budi terkait dengan dimensi batin, yakni pikiran, perasaan dan kemauan atau cipta, karsa dan rasa. Sedangkan pekerti berhubungan dengan aspek lahir, yaitu daya: budi pekerti sama dengan budi daya atau budaya. Itulah ontologinya.

Dengan demikian, pendidikan budi pekerti itu pendidikan berkebudayaan yang mengintegrasikan daya pikir, daya rasa, daya karsa, pikiran, perasaan, dan kemauan yang melahirkan daya, yang mendorong perbuatan yang baik, benar dan indah. Karenanya, dalam pendidikan berkebudayaan, yang dikembangkan adalah (1) olah pikir (2) olah rasa (etika, estetika, spiritualitas) (3) olah karsa (kreativitas) (4) olah raga (ketangkasan).

Memang, sejak tahun 2000an, aku melihat pancasila dan pendidikan sebagai ideologi dan praksis yang sekarat menuju mampus. Pancasila mampus oleh romantisme: oligarki dan feodalisme. Pendidikan mampus oleh begundal: lokal dan internasional.

Dalam nyawa yang sekarat, aku berseru. Tuhan. Kenapa engkau ambil nyawa pancasila yang semangat pengimannya menyala-nyala. Tuhan. Kenapa engkau panjangkan nyawa pendidikan liberalis yang menghancurkan bangsa ini untuk hidup sepanjang masa dan berkuasa dari istana.

Tuhan. Maumu apa. Kok makin sepi revolusi pancasila di tengah tesis, “karena republik ini didirikan oleh ide, maka kekuatan ide juga yang akan mengubahnya, meski dalam jangka panjang.” Mengapa yang berkuasa itu yang menafsirkan republik ide dan gagasan menjadi republik senjata (orde baru) dan republik uang (orde reformasi). Tuhan. Aku terus bertanya.

Mungkinkah, hanya anak-anak bangsa cerdas dan idealis yang bisa mengembalikan ide dan gagasan menjadi mahkota republik Indonesia? Semoga. Tentu mereka yang bukan cuma pendoa, peziarah, oportunis apalagi pezina.

Memang. Senjata dan uang telah bersekutu dengan agamawan dan germo di republik ini. Dan, itu pasti hanya akan melapukkan dan membusukkan republik Indonesia kecuali kita kembali membudayakan pendidikan serta mendidikkan kebudayaan agar lahir revolusi pancasila.(*)

Tags: KebudayaanKomersialisasiM Yudhie HaryonoNadiem MakarimPendidikanPrivatisasiRUU SisdiknasYudhie Haryono
Previous Post

Luar Biasa Bangkitkan Wisata, 20 Tokoh dan Destinasi Wisata di Jateng Terima Anugerah Pariwisata, Cek Daftarnya

Next Post

Yeay Listrik si Miskin 450 VA tidak dihapus, Jokowi: Tidak Ada!

Next Post
Sekali lagi soal kepemimpinan

Yeay Listrik si Miskin 450 VA tidak dihapus, Jokowi: Tidak Ada!

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Media Gathering LTN NU Temanggung Cetak Jihadis Media Aswaja

Media Gathering LTN NU Temanggung Cetak Jihadis Media Aswaja

12 Juni 2025
Dewan Pengawas Serahkan SK Dewan Direksi LPPL Temanggung TV

Dewan Pengawas Serahkan SK Dewan Direksi LPPL Temanggung TV

11 Juni 2025
Majalah MOPDIK Ma’arif Jateng Tawarkan Strategi Penguatan Komisariat IPNU-IPPNU

Majalah MOPDIK Ma’arif Jateng Tawarkan Strategi Penguatan Komisariat IPNU-IPPNU

11 Juni 2025
  • Iklan & Promosi
  • Redaksi
  • Kirim Tulisan
  • Info Loker

© 2025 Dikembangkan oleh Tim IT Harian Semarang

No Result
View All Result
  • Beranda
  • News
    • Internasional
    • Nasional
    • Regional
    • Pantura Raya
    • Soloraya
    • Wonogiri
  • Pendidikan
  • Hukum
  • Politik
  • Agama
  • Ekonomi
  • Gaya Hidup
    • Kesehatan
    • Kuliner
    • Olahraga
    • Sport
    • Ragam
    • Seni Budaya
    • Sosialita
    • Teknologi

© 2025 Dikembangkan Oleh Devisi IT Harian Semarang