Oleh M Yudhie Haryono
Pertama, tak sengaja mampir toko buku. Melihat makin sepi dan berdebu. Tak seramai dulu. Mereka kini tinggal menghitung utang-utang dan berusaha melunasinya, lalu berniat tutup. Itulah sejarah narasi kita: tak sempat sempurna modern, sudah diterjang zaman pengganti. Kita lahir dari satu disrupsi ke disrupsi tanpa sempat dewasa dan punya fungsi memaksimalkan fakultas pikir (nalar) dan kurikulum renung (hati).
Kedua, mendapati novel Persimpangan karya Hasan Aspahani (lahir 9 Maret 1971). Novel ini ditulis oleh penyair besar dari Kutai Kartanegara, Kalimantan Timur. Novel sebelumnya, berjudul Chairil (Anwar), juga telah kubaca dan kukoleksi. Bahkan waktu itu kubeli 10 eksemplar dan kubagi pada kawan-kawan pecinta puisi.
Buku novel ini berkisah soal petualangan wartawan. Ia yang pergi dari sumpeknya kota untuk menikmati dan mengeksplorasi wilayah timur Indonesia. Habel Rajavani nama lakon utamanya. Ia melakukan perjalanan dengan misi melupakan kehilangan. Sebuah kehilangan dari bermilyar pertanyaan, “dengan siapa kita menjadi apa.”
Majalah remaja yang merupakan “rumah” baginya tempat ia bekerja dan bermakna mesti menghadapi realitas dunia digital, ditutup dan bangkrut. Lalu, jurnalis muda itu mencari tahu apa yang dibutuhkan dalam hidupnya yang masih panjang. Ditemani jurnal setia, ia membuat catatan atas apa-apa yang ditemui, segala resah dan cerita.
Akhirnya, ia bertemu banyak orang yang lebih malang darinya. Dan, mereka menemukan cara untuk berdamai dengan diri sendiri dan kehidupan yang berisi setrilyun teka-teki. Sebab jawaban dari pertanyaan setiap orang tidaklah sama. Kalaulah ada yang mirip, itu hanya serupa saja.
Buku ini diterbitkan oleh penerbit keren, Gagas Media, tahun 2019, dengan nomor ISBN: 9789797809362. Berukuran 13×19 cm dan setebal: 212 halaman, buku ini menjadi sangat manis sebagai booklover serta teman ngopi para pembaca saat jalan-jalan.
Membaca buku petualangan ini, buat kita memberikan pelajaran-pelajaran berharga di setiap daerah yang dikunjungi oleh Habel. Membacanya seperti menikmati hujan dan kering yang kini datang bergantian di sepanjang jaman milenial. Tidak tak terencana, mengalir tanpa 1000 tahun masa depan yang direncanakan.
Ketidaksengajaan ini akhirnya membuatku tahu bahwa kini kita surplus akademisi, minus nurani. Itulah mengapa banyak guru dan dosen korupsi dan dipenjara. Tapi tak jenuh juga mereka amoral dan dis-mentalitas pancasila. Sejenis kutukan perjalanan tanpa tujuankah peristiwa ini? Entahlah.
Indonesia. Tentu saja. Sangat jelaslah bahwa membaca jiwamu, menyayangi ragamu, mencintai hakikatmu, menciumi dan mempuisikan seluruh tubuhmu itu membawa keberkahan sehingga waktu yang kita miliki bisa lebih bermakna dan berbahagia.
Engkau mukjizatku. Jika saja sekarang aku boleh menyetubuhimu, kukerjakan sepenuh jiwa ragaku. Aku sudah, sedang dan akan membuatmu orgasme andaipun engkau sudah jadi istriku dan ibu anak-anakku. Sebab, tiap hari bersamamu adalah hari pengantin baru.
Indonesia. Samudra mencipta keluasan. Hujan mencipta pelangi. Sendiri mencipta puisi. Kehilangan mencipta putus asa. Perjalanan mencipta roman. Lalu, apa warisan perjalananku? Tanyaku bertalu-talu. Itulah aku yang tak mampu. Sampai kini belum mampu.
Mari kita tanya buku ini yang menjawab, “Aku memang tak akan sampaikan kabar, setua apapun debu di jendela kamar. Angin menitipku di surai kuda yang ngembara abadi di padang-padang tak bernama. Aku rindu hujan dan mekar bunga rumput, hujan yang kelak menguji jawab tersebut” (hlm. 181).
Indonesia. Abstrak. Maka, dalam perjalananku, engkau perlu tahu untuk tidak mencintaiku di waktu luangmu, tapi luangkanlah waktumu untuk mencintaiku. Sebab engkaulah kitab suciku, bidadariku, hidup dan matiku. Kini. Dan, seterusnya. Amitabha. Aamiin.(*)