Oleh Yudhie Haryono
Makin miskin. Bahkan miskin yang irasional: yaitu dengan SDM dan SDA melimpah. Makin terbelah. Ini keterbelahan irasional: yaitu melawan Pancasila yang silanya mengajarkan persatuan. Makin mahal. Ini kondisi irasional karena filosofi hidup kita “hiduplah seperlunya,” hidup yang secukupnya bukan hidup sekenyang-kenyangnya. Makin matrealis. Bahkan matrealis yang fundamentalis. Ini sesungguhnya isme yang sudah lama ditenggelamkan oleh para pendiri republik karena menjadi ontologi kolonialisme.
Akankah nasib di atas diakibatkan oleh konstitusi kita yang tidak nyambung dengan realitas kenegaraan dan kewarganegaraan? Kita akan teliti pelan-pelan. Di sini, kita perlu kearifan dan penajaman nalar pikiran agar menghasilkan pencerahan.
Konstitusi itu potret diri. Dari mana dan mau ke mana sebuah negara diberlakukan. Dus, bernegara itu berkonstitusi. Begitupun sebaliknya. Pada konstitusi itulah kita melihat gagal dan berhasilnya sebuah negara. Konstitusi itulah petunjuk, metoda, visi misi dan living tradition. Maka, ia harus menangkap denyut nadi dan mimpi-mimpi seluruh warga negara.
Cilakanya, kini kita mewarisi konstitusi yang telah diamandemen. Tentu, amandemen itu peristiwa sah dan wajar. Yang repot jika amandemen itu dikerjakan dengan brutal dan manipulatif. Menurut Hatta Taliwang (2022), ada empat pandangan dalam isu amandemen.
Pertama, mereka yang melihat UUD 2002 sah dan sudah dijadikan landasan bernegara sehingga dapat diteruskan dan terus digunakan. Mereka mensosialisasikan untuk reamandemen kelima agar lebih sempurna.
Kedua, mereka yang mengakui telah terjadi amandemen UUD 45 dengan hasil melenceng sehingga narasi yang disosialisasikan adalah “kembali ke UUD 45 untuk disempurnakan.”
Ketiga, mereka yang menyatakan telah terjadi penggantian dari UUD 45 ke UUD 2002 maka narasi yang disosialisasikan adalah “tolak UUD 2002 dan kembali ke UUD 45.”
Keempat, mereka yang menganggap “berdasarkan Dekrit Presiden 5 Juli 1959, UUD 45 masih berlaku, sehingga UUD 2002 belum sah maka narasi yang disosialisasikan adalah UUD 45 tetap berlaku dan UUD 2002 tidak sah.”
Tetapi, apapun posisinya, mereka merasakan bahwa amandemen UUD 2002 telah membawa implikasi negatif terhadap kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara baik dari perspektif demokrasi politik maupun demokrasi ekonomi. Mereka percaya bahwa ujung dari proses itu, upaya mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia semakin jauh dari harapan dan kenyataan.
Kesenjangan di berbagai aspek yang terjadi baik dalam perspektif kehidupan masyarakat maupun kewilayahan merupakan output nyata yang dikeluhkan warganegara. Demikian pula intoleransi menjadi fenomena yang menguat dengan memanfaatkan kebebasan yang kebablasan tetapi abai dengan kebebasan yang juga dimiliki pihak lain.
Yang paling dahsyat, amandemen yang brutal ini menternak oligarki untuk terus menguasai segala-galanya; bermula dari ekonomi yang merambah kepada seluruh sektor kehidupan negara dengan mencengkeram dan predatorian.
Dengan realita seperti di atas, reclaim the state merupakan kebutuhan riil kita semua. Lalu, kita perbaiki kembali konstitusi melalui adendum UUD 1945, dengan mentransformasikan nilai-nilai Pancasila ke dalam UUD sebagai hukum dasar yang kontekstual dengan situasi sosial negara dan bangsa ini.
Buku ini berjudul, “Kaji Ulang Perubahan UUD 1945,” diterbitkan oleh Pustaka Billah Bandung, tahun 2019, setebal 212 halaman. Ditulis oleh banyak orang yang tergabung dalam Forbes TNI-Polri bersama Mitra Seperjuangan, ber-ISBN 97860215632627, merupakan buku komprehensif yang layak dijadikan pegangan untuk menyusun ulang konstitusi kita.(*)