Oleh Yudhie Haryono
Hilang. Mereka dihilangkan. Padahal, itu konsensus dari pikiran jenius para pendiri republik ini. Begitulah posisi, filosofi dan bentuk dari “utusan golongan dan utusan daerah” dalam arsitektur kenegaraan kita. Singkatnya kini MPR RI hanya diisi dua kaki (DPR RI, wakil parpol dan DPD RI, wakil daerah). Bangunan politik majlis beralih rupa dan beralih fungsi.
Padahal, utusan golongan dan daerah itu hadir dan dihadirkan demi daulat rakyat dan daulat teritorial. Beberapa tesis berikut adalah bukti bahwa lembaga itu baik, jenius dan konstruk keren dari republik Indonesia.
Menurut AA LaNyalla Mahmud Mattalitti, “sebagai Ketua DPD RI maupun secara lembaga tidak tutup mata dengan kondisi bangsa saat ini. Kita terus membawanya ke arah yang tegas dan jelas yakni memperjuangkan rakyat, baik lewat kembali ke UUD 45 yang asli karena ada pasal utusan golongan, maupun lewat jalur akademik dialogis.”
“Keseimbangan berbagai unsur yang mewakili seluruh rakyat Indonesia dalam memperjuangkan cita-cita masyarakat yang adil dan makmur pada kelembagaan MPR RI belum terwujud. Saatnya utusan golongan dan daerah diberikan kedudukan yang kuat, agar kepemilikan bangsa menjadi lebih bermakna” (Agus Prana Mulia, 2023).
“Sistem negara kita berbeda dari bangsa dan negara lain. Kita satu tingkat levelnya di atas trias politica, yaitu dengan adanya sila ke-4 yang menjelma menjadi sistem sendiri yaitu MPR. Ini agar siapapun penguasanya ada kontrol langsung dari rakyat, dan GBHN bisa berjalan baik dan benar” (Setiyo Wibowo, 2023).
“Negara Pancasila filsafatnya adalah kesadaran ontologis nusantaraisme (kepulauan) dan kesadaran epistemologis maritimisme (kelautan), serta kesadaran aksiologis multikulturalisme (bhineka tunggal ika). Kehadiran utusan golongan dan utusan daerah di MPR RI adalah Keniscayaan yang harus segera terwujud untuk mengokohkan Bhineka Tunggal Ika” (Syani N Januar, 2023 ).
“Hadirnya negara Indonesia tidak terlepas dari peran golongan rakyat yang bersatu padu kemudian bersepakat mendirikan dan merawat bangsa Indonesia. Ingatan sejarah tentang memori fundamental ini harus terus dirawat demi menjaga multikulturalisme bangsa, bagaimanapun juga bangsa ini milik bersama bukan hanya segelintir golongan saja” (Dalias, 2023).
”Kita mengenal ungkapan Tilu Sapamulu Dua Sakarupa Nu Hiji Eta Eta Keneh. Artinya, tiga yang sejenis, dua yang sama, Yang Satu Itu-Itu Juga. Hukum, agama, negara, mokaha bila ditinjau dari sudut pandang Pancasila mungkin itulah salah satu yang dimaksud dari Bhineka Tunggal Ika. Sesuai dengan cita-cita para pendiri negeri ini, bila bangsa kita mau konsisten terhadap Pancasila dan UUD 1945 maka dipandang perlu adanya Utusan Golongan di MPR RI. Itulah salah satu yang dimaksud gotong royong bersama membangun negara” (Yoyo Yohenda, 2023).
“Indonesia esensinya berbasis kemajemukan. Gagasan utusan golongan menjadi keniscayaan untuk menjadi cermin kemajemukan. Dengan begitu demokrasi perwakilan dapat optimal terepresentasi di ruang publik” (Raden M. Mihradi, 2023).
“Mengubah dan menetapkan undang-undang dasar sesudah amandemen lebih bersifat politis karena MPR hanya sebagai lembaga tinggi negara yang diisi oleh DPR dan DPD, yang hanya mencerminkan sistem perwakilan politik dan diisi oleh orang-orang yang berasal dari partai politik. Untuk menghidupkan kembali kewenangan MPR dalam menetapkan GBHN, harus mengembalikan komposisi MPR dengan memasukkan unsur Utusan Golongan yang mewakili aspirasi seluruh Rakyat Indonesia” (Purbowo S. Widodo, 2023).
“Untuk menjamin kelangsungan demokrasi Pancasila, harus ada institusi yang berwenang dan fokus mengelola etika bernegara, mempertebal semangat kebangsaan serta memperkuat nilai keindonesiaan. Institusi ini memiliki kuasa untuk menghentikan siapa saja yang melakukan tindakan yang bertentangan dengan itu. Anggotanya dipilih dari gagasan dan jejak rekam yang ditorehkannya untuk Indonesia. Institusi itu seharusnya adalah utusan daerah dan utusan golongan” (Irawan Djoko Nugroho, 2023).
“Negara Republik Indonesia didirikan dan diperjuangkan oleh anak-anak bangsa yang berasal dari berbagai unsur, golongan, maupun profesi. Para pendiri bangsa sadar betul peristiwa sejarah tersebut. Namun sayang sekali, Orde Reformasi justru menghapuskan unsur golongan seakan lupa peran dari anak-anak bangsa dari berbagai unsur, golongan, dan profesi tersebut. Untuk itu, kita perlu mengakhiri kekeliruan itu dan mengembalikan harkat dan hak melekat unsur golongan yang sebelumnya telah diatur dalam konstitusi” (Joe Marbun, 2023).
“Cita-cita luhur the founding fathers tentang kehidupan perpolitikan dituangkan dalam konstitusi MPR terdiri dari DPR, utusan daerah dan utusan golongan. Ini mengandung makna bahwa kehidupan perpolitikan bangsa harus merefleksikan semua elemen anak bangsa, tidak hanya partai politik yang dikuasai segelintir orang, tidak hanya utusan daerah-daerah, tapi juga utusan golongan-golongan sebagai wujud kemajemukan dan kebhinekaan. Jika hari ini hanya ada DPR dan DPD maka perpolitikan kita rabun konstitusi dan khianat pada cita-cita the founding father” (Asy’ari Muchtar, 2023).
“Utusan golongan merupakan bagian integral dari demokrasi yang berlandaskan Pancasila di Indonesia. Utusan golongan mampu merepresentasikan kepentingan dari kelompok tertentu yang suaranya tidak bisa diwakilkan oleh oligarki partai. Tanpa kehadiran utusan golongan, proses demokrasi akan menjadi tidak seimbang dan kepentingan masyarakat luas tidak bisa diakomodir dengan baik. Utusan golongan memungkinkan masyarakat berpartisipasi dalam proses politik yang menentukan kebijakan yang berkaitan dengan bidang-bidang khusus mereka” (Wiwit Kurniawan, 2023).
“Agar budaya kita berdaya dan bermartabat dunia, jika DPR dipilih dan diusulkan oleh partai, maka utusan golongan dan utusan daerah harus identik menjadi utusan etnis budaya setempat dan wakil-wakil kebijaksanaan lokal” (Gatut Susanta, 2023).
“Dalam politik pancasila, metoda yang bijak dan ugahari perlu dilakukan dengan cara mengambil secukupnya saja yang diperlukan, tidak berlebih sehingga tercipta kesetimbangan. Utusan golongan adalah ikhtiar terjadinya kesetimbangan” (Mayjen Rido Himawan, 2023).
“Sesuai amanat undang-undang, dalam praktek penyelenggaraan negara, hilangnya hak keterwakilan seluruh Rakyat Indonesia di lembaga MPR saat ini karena dihapuskannya utusan golongan sebagai perwakilan fungsional. Tentu itu tidak sesuai lagi dengan norma dasar yang hidup dalam masyarakat, nilai-nilai historikal dan asal usul berdirinya Republik Indonesia yang terbentuk dari kolaborasi kerajaan, kesultanan, kesukuan dan kedatuan di Nusantara” (Connie Constantia, 2023).
“Kita menghendaki kehadiran utusan golongan kembali agar menjadikan MPRRI sebagai lembaga perwakilan yang inklusif karena mengikutsertakan seluruh unsur dalam masyarakat Indonesia yang plural. Kehadiran Utusan Golongan juga membuat kepentingan masyarakat yang tidak terwakili oleh partai politik dan daerah, bisa terakomodir kembali” (Astika Wahyuaji, 2023).
“Kebanyakan dari kita bicara amandemen, rekonstitusi maupun balik ke konstitusi asli. Tetapi, melupakan inti kerja raksasa selanjutnya dari bangsa ini yaitu rekonsiliasi. Tanpa kurikulum rekonsiliasi dalam konstitusi, itu artinya kita kurang memahami takdir plural Indonesia. Dan, takdir plural negeri ini dalam konstitusi kita adalah adanya utusan golongan dan utusan daerah dalam MPRRI” (Eko Sriyanto Galgendu, 2023).
Lalu, siapa saja anggota dari utusan golongan tersebut? Kita bisa mengenalinya dari lima hal: 1) Berdasarkan profesi: buruh, petani, nelayan, pers, dokter, TNI dan Polri. 2) Berdasarkan kecerdasan: guru, dosen, cendekiawan. 3) Berdasarkan umur: kepemudaan, lansia, remaja. 4) Berdasarkan keagamaan/kepercayaan: kyai, pastur, bikku, rokhaniawan, bante. 5) Berdasarkan sebaran: wilayah terluar, pedalaman, pulau terpencil.
Lalu, siapa saja utusan daerah itu? Kita bisa mengenalinya dari dua hal: 1) Berdasarkan teritorial: raja, ratu, kepala suku, ketua adat. 2) Berdasarkan representasi daerah: gubernur, bupati/walikota, camat dan lurah/kepala desa.
Lalu, bagaimana mekanisme pemilihan utusan golongan dan daerah untuk duduk di MPR RI? Mekanisme pemilihan utusan golongan dan daerah dilakukan di komunitas masing-masing dengan adat mereka serta nanti dilantik presiden sebagai kepala negara.(*)