Penulis: Umar Al-Faruq (Ketua Umum HMI Komisariat Untag)
Pembacaan nama wisudawan terbaik menjadi salah satu momen yang selalu mampu menjadi magnet kuat bagi ribuan pasang mata tamu acara wisuda. Begitu nama-namanya disebutkan, serentak gemuruh suara nyaring terdengar seisi ruangan. Alangkah menyenangkannya jika membayangkan nama kitalah yang disebut disana, sudah pasti kita akan menjadi bahan “membanding-bandingkan” bagi para tetangga kepada anaknya “liat noh anaknya ibu anu jadi wisudawan terbaik, kamu lulus aja belum” ucap seorang ibu disebelah rumah kita.
Pernahkah kita mempertanyakan status wisudawan terbaik? Bagaimana cara penilaiannya? Apa indikatornya? Dan seterusnya. Setahu saya cara yang umum digunakan perguruan tinggi dalam menentukan wisudawan terbaik adalah tinggi IPK (Indeks Prestasi Kumulatif), atau ukuran rata-rata yang didapat dari penilaian akademik selama masa studi seorang mahasiswa. Nah, dari sini lahir pertanyaan baru. Apakah baik atau buruknya mahasiswa mampu di ukur oleh sekelumit angka yang disebut IPK?
Episode hidup ketika menjadi mahasiswa merupkan episode yang cukup kompleks dan penuh lika-liku cerita. Dari mulai Culture Shock karena cara belajar dan gaya pertemanan yang berbeda dari masa SMA, panasnya hawa politik organisasi mahasiswa, sampai lelahnya menanti hari wisuda. Cara hidup mahasiswa pun sangat beragam, ada yang kupu-kupu (kuliah -pulang-kuliah-pulang), kura-kura (kuliah-rapat-kuliah-rapat), sampai mahasiswa aktivis yang gak pernah ada di ruang kuliah, tapi ada di depan gedung DPR (demonstrasi).
Beragamnya cara hidup mahasiswa, berangkat dari beragamnya nilai dan makna hidup yang dipegang mereka. Ada suatu motivasi untuk mengikuti sebuah rapat organisasi setelah pulang kuliah, ia percaya bahwa dengan melakukan hal ini, ia akan bertemu dengan banyak orang dan belajar banyak hal, atau setidaknya hal ini lebih baik dibanding hanya berdiam diri didalam kamar kost, hal-hal tersebut cukup untuk dijadikan alasan kenapa mereka harus datang rapat organisasi. Disisi lain ada juga yang percaya bahwa mengikuti kegiatan mahasiswa di luar daripada kuliah formal seperti rapat organisasi dan lain sebagainya, hanya membuang-buang waktu, hal itu dipercaya tidak berdampak apa-apa bagi kehidupannya, lebih baik bergurau dengan kawan atau menyendiri di dalam kost. Di seberang sana, ada pula mahasiswa yang melihat kuliah formal didalam kelas hanya sebuah bentuk pembodohan sistematis, hal ini disebabkan tidak adanya ruang dialektika kelimuan, yang ada justru pikiran kritis mereka di berangus habis oleh dosen berlagak dewa dengan kemahabenarannya. Daripadi mati (pikirannya) didalam kelas, lebih baik meneriaki pemerintah karena kezaliman akut yang di praktikkannya. Ia percaya bahwa dengan melakukan itu, ia sudah melakukan sebuah bentuk pengabdian nyata untuk keberlangsungan hidup warga negara yang sedari lahir sampai matinya di selimuti penindasan kejam penguasa.
Hal-hal diatas harusnya menjadi bahan bagi para pimpinan kampus untuk berpikir berkali-kali dalam menentukan kriteria wisudawan terbaik. Kalau menurut kebijaksanaan umum yang sering kita dengar bahwa “sebaik-baiknya manusia adalah mereka yang bermanfaat bagi orang lain” harusnya ada kualifikasi sejauh mana mahasiswa mengabdikan diri pada masyarakat. Sebab tidak jarang mahasiswa yang turut prihatin melihat kondisi kebanyakan masyarakat yang hidup di ambang batas taraf kelayakan. Hal ini memicu mereka untuk terjun ke gubuk-gubuk rakyat kecil dalam membantu berbagai hal, dari mulai pengembangan potensi desa sampai advokasi persoalan tanah masyarakat yang di cermari limbah pambrik pengusaha.
Harapan saya, ada pikiran baru yang bisa menghinggapi para pimpinan kampus untuk segera memperbarui kulaifikasi wisudawan terbaik. Tidak hanya sekedar menengok seberapa tinggi IPK, tetapi juga sejauh mana prestasi yang sudah di capai, bahkan seberapa besar dedikasi yang sudah di limpahkan kepada masyarakat. Sebab, pendidikan tidak di tujukan untuk mengejar IPK, lalu menjadi mudah dalam mencari kerja. Tapi lebih dari itu, meminjam kalimat Tan Malaka, pendidikan bertujuan untuk mempertajam kecerdasan, memperkukuh kemauan serta memperhalus perasaan. Dan saya rasa, tujuan pendidikan tersebut mustahil tercapai dengan hanya melulu mengejar IPK besar. Pekerjaan yang baik hanyalah sebuah konsekuensi dari hadirnya pikiran yang tajam, kemauan yang kokoh, serta perasaan yang halus.