Oleh: Muhammad Fachrul Hudallah (Founder of Consumer Care Movement)
Beberapa waktu lalu, saya menerima keluhan penjual terkait tanggung jawab pihak ketiga dalam transaksi. Dia bercerita mengalami kerugian yang ditaksir bernilai jutaan rupiah karena barang yang dijualnya hilang pada saat melakukan pengiriman. Dia juga mengeluhkan bahwa asuransi produk harusnya ditanggung oleh konsumen, bukan pelaku usaha.
Melihat kejadian tersebut, perlu disadari bahwa kemajuan teknologi mempengaruhi dunia transaksi, yang mulanya konvensional menjadi digital, yang mulanya terbatas menjadi tak terbatas (borderless). Ini merupakan persoalan serius yang perlu didiskusikan agar posisi konsumen dan pelaku usaha bisa seimbang.
Transaksi digital sekarang ini bisa melalui beberapa platform di Indonesia, semisal TikTok (melalui Tokopedia), Lazada, dan Shopee yang sedang naik daun. Melalui aplikasi tersebut, konsumen bisa memilih dan memilah barang dengan cepat, yakni hanya melalui gambar dan deskripsi. Lebih lanjut, biasanya konsumen juga melihat melalui komentar para konsumen yang lain (yang sudah pernah membeli produk) dan rate bintang (yang paling bagus bintang 5). Kemudian, keputusan membeli atau tidak biasanya ditentukan oleh banyaknya pembeli, komentar, dan rate bintang.
Ini berbeda dengan transaksi konvensional yang bisa secara langsung melihat, meraba, dan mencium sebuah produk. Semisal membeli gamis di toko A, konsumen akan melihat modelnya terlebih dahulu hingga meraba kain dan modelnya. Selain itu, semisal membeli parfum di toko B, konsumen akan melihat parfum dan mencium baunya kira-kira cocok atau tidak. Hal inilah yang membedakan antara transaksi konvensional dan digital.
Meskipun begitu, demi efisiensi waktu, tidak sedikit konsumen yang memilih membeli produk di platform jual beli. Selain itu, pelaku usaha juga memilih aplikasi tersebut untuk menghemat pengeluaran karena tidak membakar uang untuk keperluan sewa toko dan reparasi interior atau eksterior. Bukan hanya itu, market di toko online juga lebih besar dan praktis. Ini mengapa disebut borderless.
Namun, regulasi yang mengatur secara khusus mengenai transaksi digital belum ada, terkhusus yang berkaitan dengan pihak ketiga, atau yang biasa disebut business intermediaries. Dalam konteks ini sebagai penyedia layanan, yang menghubungkan antara pelaku usaha dan konsumen.
Regulasi di Indonesia, yang seharusnya mengatur tentang ini adalah UU tentang Perlindungan Konsumen. Meskipun sudah ada UU ITE No. 19 tahun 2016 perubahan atas UU No. 11 tahun 2008, hal yang mengatur pihak ketiga masih belum diatur. Oleh sebab itu, kebutuhan pembaruan regulasi terkait Perlindungan Konsumen harus dilakukan agar dapat meminimalisir kerugian di dalam transaksi elektronik.
Tanda dibutuhkannya pembaruan regulasi ini adalah Perpres No. 49 tahun 2024 yang dimana di dalamnya mengatur tentang Strategi Nasional Perlindungan Konsumen. Kemudian, UU ini juga sudah lama diterapkan, yakni tahun 2000 setelah diundangkan pada tahun 1999. UNGCP (United Nations Guidelines for Consumer Protection) juga di prinsip umum sudah mengungkap bahwa negara seperti Indonesia perlu untuk melakukan penyesuaian regulasi berdasarkan keadaan sosial, ekonomi, dan budaya masyarakat.
Oleh sebab itu, kebutuhan pembaruan regulasi di bidang perlindungan konsumen merupakan hal yang urgent untuk dilakukan berdasarkan konteks lapangan agar pelanggaran tidak terus terjadi. Dengan diberlakukannya regulasi yang baru nantinya, masyarakat akan merasa aman dan nyaman bila menggunakan media seperti marketplace dalam melakukan transaksi.